9. Topeng Monyet

27 5 4
                                    

Hari Senin. Mungkin banyak orang yang tidak suka dengan hari Senin. Mereka seringkali mengeluh apalagi membenci. Padahal hari Senin adalah hari dimana Rasulullah SAW. lahir, hari yang penuh berkah dan rahmat. Hari yang disunnahkan untuk berpuasa, dimana para malaikat menyerahkan catatan amal kita kepada Allah SWT.

Rasulullah SAW. bersabda:
“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang di antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan…” (HR. Muslim)

Seperti sekarang ini, keberuntungan sepertinya sedang tidak berpihak kepada Raka. Bersama siswa lainnya, dia dihukum menunggu antrean di pagi yang cerah ini karena terlambat mengikuti upacara. Antrean apa? Makan mie ayam pak Wono di kantin? Atau makan nasi goreng super lezat bu Diah di kantin? Atau malah antre sembako? Jawabannya adalah tidak!

Mereka mengantre menunggu giliran untuk ceramah di podium menghadap ke timur. Ya, itulah hukumannya. Berceramah di hadapan matahari, istilahnya. Dengan ditunggu oleh pak Setyo, guru BK yang sangat begitu galak tak tertandingi. Matahari dengan teganya menyengat tubuh Raka yang sekarang sudah banyak bercucuran keringat hingga kaos dalam yang dikenakan Raka terlihat. Umpatan yang sejak tadi ditahannya, lolos begitu saja.

"Shit! Kalau aja tadi bang Arka nggak kempesin motor gue, nggak bakal dihukum kek gini. Dasar bang Arka laknat! Tunggu pembalasan gue, bang." ucap Raka masih mendongak menatap bendera.

Setengah jam berlalu, Raka tidak mengikuti mata pelajaran pertama yaitu sejarah. Beruntung hanya sejarah, Raka mah kecil menghadapi sejarah. Lagipula temannya satu kelas pasti sedang menahan kantuk sekarang. Habis upacara, panas, setelah itu sejarah, mubal. Haha.

Dari luar kelasnya, dia tidak mendengar apapun. Hening. Itulah yang terjadi. Kemana semua temannya? Dengan perlahan, dia mengetok pintu kemudian mengucapkan salam. Seketika dia meneguk ludah kasar melihat teman-temannya serius mengerjakan soal dari pak Hasyim, guru sejarah mereka.

Mampus! Gue lupa kalo hari ini ada ulangan. Mana belum belajar lagi. Sialan!

Pak Hasyim menatap Raka yang masih terbengong di depan pintu. Sambil mengernyit heran, dia menyuruh Raka untuk masuk lalu memberikan satu lembar kertas berisi 5 buah soal yang jawabannya bisa menghabiskan 2 lembar kertas. Lebay memang.

"Kamu bisa mengerjakan mulai dari sekarang! Sebisanya saja, karena ulangan ini mengingat salah satu bab yang ada di kelas X berkaitan dengan bab baru yang akan kita pelajari minggu depan. Paham?" Pak Hasyim menurunkan kacamatanya sampai di hidung, menatap Raka penuh selidik.

"Paham, pak. Terima kasih," jawab Raka.

Raka duduk di bangkunya, mengambil bolpoin dan kertas sebagai media jawaban. Memperhatikan soal dengan teliti, mengingat salah satu bab yang pernah diajarkan di kelas X. Dan ya, sepertinya dia bisa menjawab semuanya. Mengingat daya hafal Raka memang sangat kuat. Raka menyeringai lebar, menorehkan tinta di atas kertas putih yang belum ternodai apapun.

Di sisi lain, Rasya, Fia, Rama, dan Haban sedang diskusi bersama mata pelajaran Fiqih tentang pembagian harta warisan. Kelas mereka ada siswa sebanyak 32 orang, jadi dibagi menjadi 8 kelompok dimana setiap kelompok ada 4 orang. Bu Zahra menerangkan berapa banyak presentase anak laki-laki dan anak perempuan yang mendapatkan warisan, juga bagaimana cara menghitungnya. Fia yang memang lemah dalam pelajaran matematika, kini dihadapkan dengan hitung-hitungan yang ada dalam Fiqih yang mungkin begitu rumit menurutnya.

Disajikan soal. Ahli waris dari Umar adalah ayah dan ibu Umar, serta istri dan 3 orang anak Umar, yaitu Ahmad, Anita dan Annissa sehingga pembagiannya sebagai berikut:

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 03, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Story of MadrasahWhere stories live. Discover now