Chapter I : Part IV

38 8 2
                                    

Musim panas tak kunjung berlalu. Aku jadi semakin gerah di rumah pohonku. Aku ingin es, tapi malas pergi jauh-jauh.
"Aha! Min Hee dan Al punya kulkas. Aku buat es batu aja. Kalo udah jadi, bisa bikin es enak" batinku bersemangat. Aku melompat turun, menapaki tanah berumput yang mulai mengering. Semenjak ahjumma itu pindah, tak ada yang menyiram rumput di bawah rumahku. Aku sebal, tapi ya gimana lagi. Huftt.

Aku menyelinap ke dapur dan menemukan wadah untuk membuat es batu. Kuisi dengan air matang dan kutaruh di freezer. Supaya Al atau Min Hee nggak mengambilnya, aku pun menulis di atas label "Jangan diambil. Bandel = kamarmu berantakan"

Supaya aku nggak kecolongan, aku memilih bersembunyi di kursi dapur. Kursinya dari kayu. Tak terlalu empuk, tapi cocok dijadikan tempat tidur bagi tupai.

Tatkala mendengar suara langkah yang mendekat, aku pun berlari, sembunyi di balik panci yang tergantung di dinding. Aku melihat Al pulang duluan
"Biasanya Min Hee yang pulang duluan. Tumben banget. Eh, bentar. Kok warna rambutnya enggak coklat, si? Kok jadi pirang gitu?" batinku heran.

Aku tetap mengawasi gerak-gerik lelaki berambut pirang yang tak bisa kutatap wajahnya dari depan. Ia memunggungiku. Aku hanya bisa melihatnya mengambil sayur mayur dan meraciknya jadi sop.

Air liurku menetes, aroma masakan itu membuat perutku keroncongan. Aku belum makan seharian. Kuputuskan untuk menyelinap keluar ketik Al tak bisa melihatku. Saat itu pula aku melihat Al yang ada di depanku. Aku bingung, mengapa ada dua Al.

Al berambut coklat berkata "Serim, kau masak apa?"
Al rambut pirang, lebih tepatnya Serim menjawab "Sop. Kau sudah pulang?"
"Yap"

Aku bengong, tak habis pikir dengan mereka berdua yang sama-sama menatap sop daging sapi yang hampir masak di kompor.

"Eh, Allen" henti Serim saat Allen hendak meninggalkan dapur. Allen pun menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Serim seraya menanyakan perihal Serim memanggilnya secara mendadak.
"Mana Min Hee?"
"Ish. Kupikir apa. Kau tak mau tahu kenapa aku pulang awal?"
"Masa bodo denganmu" jawabnya dingin
"Min Hee tadi jemput pacarnya di universitas. Mungkin dia lagi kencan sekarang ini" jawab Allen kesal seraya menaiki tangga.

"Jangan-jangan universitas yang dimaksud Allen itu universitasku. Makanya tempo hari aku melihatnya" batinku menerka universitas mana yang barusan dimaksud oleh Allen.
"Masa bodo apanya, sih" ujar Serim sedikit menyesal. Kurasa, lelaki itu peduli pada Allen, tak akan bisa mengabaikannya.

"Oi, siapa yang naruh es di kulkas?" teriak Serim dengan kencang. Aku nyaris tuli dibuatnya. Meski Serim memanggil dengan kencang, Allen tak menyahut. Aku penasaran dan pergi ke kamar Allen. Ya, sebenarnya aku ngga tau kamarnya yang mana. Asal masuk aja.

Kulihat Allen sedang membereskan barang-barangnya yang terjatuh. Parfumnya pun tumpah. Kupikir ia kaget mendengar seruan Serim dari dapur.

"Tanya dari tadi, kek. Udah di sini baru nanya. Huh" gerutu Allen. Aku terkikik dan melompat ke atas tempat tidur yang nyaman. Meski sempit karena harus di bawah bantal, aku senang melihat Serim memarahi Allen.
"Punya kuping nggak si?"
"Mianhamnida. Aku sibuk"
"Uh. Sibuk apanya? Kau nggak ngapa-ngapain" omelnya lagi
"Mendengarmu memarahiku itu kesibukan tersendiri, tahu"
Serim diam sejenak, lalu berkata
"Kalau aku nggak lagi masak, kucincang kau"

Allen cuma memandang kepergian Serim yang diiringi omelan-omelan kecil. Tanpa bisa kusadari, ia tidur di atas bantal. Aku pun tergencet, tidak bisa bernafas. Badanku sakit semua. Aku nggak mau ketahuan, tapi aku tak kuat lagi. Dengan cepatnya, diriku pun berubah menjadi sosok manusiaku.

Kepala Allen pun terangkat karena aku bertambah gemuk dari wujud tupaiku. Sebelum ia menyadarinya, aku melompat dan langsung berubah menjadi tupai lagi. Aku menabrak buku-buku yang sudah berantakan sejak aku masuk ke sini. Kulihat Allen oppa terbangun dari tidurnya. Ia pasti bingung mengapa ia bisa terhempas secara tiba-tiba.

Karena menjadi manusia menguras tenagaku, aku pun menyusun buku-buku supaya aku bisa tidur tanpa ketahuan. Kuraih ekor merahku yang lembut dan kujadikan bantal untuk tidur siangku di musim panas.

Dalam mimpiku, kulihat sosok ayah ibuku yang menanti di depan rumah. Mereka menyongsong kepulanganku. Air mataku keluar dan aku pun terbangun dari tidur siangku.

Alangkah terkejutnya aku ketika aku sadar bahwa Allen membawaku di telapak tangannya. Ia mengelusku lembut.
"Aku tahu kau manusia. Cepat perlihatkan dirimu" ujarnya tak kusangka-sangka. Aku diam, mencicit seperti tikus. Aku ini tupai, tapi belum pernah sekalipun aku berjumpa dengan tupai sungguhan.
"Noonim, CCTV takkan pernah salah. Oh, haruskah kau kupanggil ahjussi agar kau mau berubah?"

A Squirrel in a Sunny Day | Jo YuriWhere stories live. Discover now