#23 (Cinta yang Mati)

91 9 0
                                    

Aku berkata kepada Cinta
"Aku tak mau mati sebelum mengenalmu dan menemukanmu.."
Cinta menjawab
"Yang mengenal dan menemukanku tak akan mati.."
-Jalaludin Rumi-

================================
Ketika kamu merasa cintamu mati. Belajarlah kepada Rose of Jericho. Ia dijuluki tanaman kebangkitan sebab bisa kembali hidup hijau setelah hampir mati kering.

================================

"Dasar bodoh," umpat Arief yang sudah geram saat mendapat kabar Azril semalam demam.

Aku hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar, yah aku terlalu bodoh karena jatuh sakit diakibatkan mimpi Zahra pamit. Tapi itu di luar kuasa ku bukan? Argh seharusnya aku bisa mengendalikan pikiran agar tak penyakitan.

"Lo tahu kan tujuh puluh persen penyakit datang dari pikiran?" Arief hanya mendapati sebuah anggukan.

"Terus kenapa lo ga kendaliin tuh pikiran? Kenapa harus Zahra yang lo nomor satukan? Lo ga liat gimana bunda khawatir setengah mati saat lo sakit?" Arief mengatur kembali napasnya, dia beristighfar karena emosinya menjalar. Sementara, lawan bicaranya hanya diam.

Wajahnya pucat sekali, sorot matanya pun meredup. "Maaf gue jadi emosi."

Ada sebuah senyuman yang dipaksakan, "Gue ngerti ko. Gue emang bodoh!"

Tok tok tok
Ceklek, pintu kamar terbuka. Ada bidadari cantik jelita membawa nampan yang penuh terisi dengan semangkuk bubur dan dua gelas teh manis hangat.

"Arief kalau mau buburnya ke dapur aja ya, nampannya kecil ga muat." ujar bunda sambil terkekeh.

"Hehe iya bun, jadi ngerepotin sampe dibawain teh anget. Kan yang sakit noh," memajukan dagunya dengan pandangan mengarah pada Azril.

"Udah udah jangan berantem, Azril mau disuapin sama bunda atau sama Arief?"

"Azril bisa sendiri kok bun," tangannya langsung mengambil mangkuk lantas memakan buburnya dengan lahap.

Bunda hanya tersenyum, ia paham sekali watak anaknya. Kalau ada teman atau orang lain, pasti tak ingin terlihat manja. Padahal faktanya, Azril seperti bayi besar kalau sedang sakit.

"So so an ga manja," celetuk Arief yang kemudian dipelototi bunda.

Arief hanya menelungkupkan tangannya sebagai isyarat meminta maaf, tak lupa disertai cengiran jailnya.

Bundapun keluar dari kamar, membiarkan dua sejoli itu kembali bertengkar.

"Harusnya lo belajar dari bubur, dia selalu enak entah dimakan sama orang sakit atau sama orang sehat. Kita tuh harus fleksibel, hidup tuh dinamis ga statis bro! Bahkan yang namanya bubur ga akan bisa balik lagi jadi nasi. Sama kayak Zahra kalo dia udah jadi masa lalu, belum tentu dia jadi masa depan lo! Gue ngampus dulu, cepet sembuh." Satu tepukan pada bahu didaratkan, lantas pergi tanpa ada kalimat tambahan.

Aku termenung bersama deretan kata yang bersenandung. Apa benar Tuhan menghadirkan Zahra hanya sebagai pembelajaran, bukan pasangan? Jika benar, mengapa hati ini selalu yakin hingga menggerogoti batin? Apa cinta ini hanya sebuah ambisi dan obsesi? Bukan lagi soal ketulusan hati?

[TERBIT] Gapailah Cita Sebelum Cinta [✓]Where stories live. Discover now