01. Lilac

233 24 5
                                    

Spring, 2019

"Jin, di mana kau menaruh panci?" tanya Apple seraya membuka tutup kabinet bagian bawah yang satu kemudian berpindah pada yang lain. "Seingatku, kemarin aku menaruhnya di bawah."

"Kemarin itu maksudnya satu tahun lalu, apa bagaimana?"

Serta merta Apple langsung mendongak, melempar lirikan nyalang pada kekasihnya yang mengenakan celemek motif tsum tsum—hadiah dari Apple. "Oh, seperti beberapa bulan lalu kau tidak bertanya di mana menaruh celana dalammu saja!"

"Kau tahu kan aku—"

"Iya, aku tahu." Kini Apple sudah berdiri, berkacak pinggang, dan berdiri dengan wajah gusar tak lebih dari satu meter di hadapan Seokjin. "Makanya jawab saja, kau singkirkan di mana panci itu? Itu pemberian ibuku, asal kau tahu—dan kita harus masak."

Seokjin berniat mencebik balik. Namun intensinya terhenti mengingat bahwa ini masih pagi hari di akhir pekan dan kebetulan keduanya secara sadar berada di rumah—yang mana cukup jarang kecuali malam hari karena beberapa bulan lalu Seokjin sering bepergian, kemudian tatkala ia kembali, malah jadwal praktik Apple yang membludak. Mengalah, Seokjin akhirnya membuka kabinet tepatdi atas kepala kekasihnya—yang jelas sudah dibukanya tadi.

"Maybe you need new eyeglasses."

"Thank you for the help Mr. Commentator."

Tawa Seokjin menguar melihat kekasihnya mengambil panci setengah menggerutu karena kata-kata Seokjin. Well,wanita itu sedang PMS, jadi Seokjin berusaha maklum saja dan lebih berniat untuk melanjutkan kegiatannya memotong sayuran serta kentang. Tetapi sebelum itu, ada impuls yang membawa lengan Seokjin melingkar di pinggang kekasihnya, menuntun bibirnya untuk berbisik lembut pada telinga si perempuan.

"You're very welcome, A."

Satu kecupan jatuh. Apple terkejut pun lekas menoleh; presensi lelaki tersebut sudah menghilang untuk mengambil pisau, tapi Apple tak lagi memberengut. Semudah itu bagi Seokjin untuk meluluhkan kesayangannya.

Tidak ada cekcok lagi di dapur; interaksi digantikan oleh suara pisau yang membentur alas kayunya, atau letupan-letupan kecil di permukaan air, kemudian disusul oleh suara mengaduk, mencicipi, dan sedikit tukar pikiran untuk bumbu mana yang perlu ditambahkan. Dalam waktu satu jam, keduanya telah berpindah ke meja makan, duduk saling berhadapan dengan hidangan yang menggoda mereka dari indra penciuman; nasi hangat, kari, kimchi, ayam goreng bumbu gochujang.Nasi disendok dan keduanya mulai makan sembari membagi konversasi ringan.

Walau tidak lama.

"Seseorang mengirimi kita surat."

"Aku tahu, Jin, bukankah itu untukmu?" Apple mendongak, kunyahannya melambat, dan ia meletakkan sumpit perlahan; sedikit hatinya berdebar dengan rasa tak nyaman. "Ingin kau tumpuk lagi?"

Yang dibicarakan Apple adalah tentang puluhan surat dari Kanada yang tertumpuk di sudut usang kamar tidur mereka—bisa jadi sudah jadi tempat tinggal laba-laba. Apple sendiri—secara sembrono—pernah mengintip isi surat tersebut, merasa terpecah antara memaksa Seokjin membacanya atau simpan saja kisah yang ia tahu sendiri. Oh, jangan pikir ini semacam kisah telenovela kalau Seokjin punya anak dan meninggalkannya, ini perihal si lelaki yang masih menolak membuka surat-surat dari keluarganya—karena trauma yang ia alami dulu.

Meski Seokjin pernah beberapa kali membuka surat itu—saat pertama kali tiba tentu—ada janji dalam untaian kalimat setelah bertanya tentang keadaannya kini. Bukan merasa senang malah timbul banyak rasa takut. Oh tentu Apple sudah menasehatinya, tapi cuman bertahan beberapa minggu saja. Seokjin terlalu batu, jawaban 'Iya'-nya hanya di mulut, sampai akhirnya Apple menyerah. Seperti malam ini, daripada terus memaksa pria itu untuk sekedar membereskannya masih banyak obrolan penting.

Evoking MemoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang