[17] Ekspresif

1.4K 335 56
                                    

       Pagi, siang, sore, malam. Waktu mana yang paling menyenangkan?

        Untuk Ara, ia suka semua waktu kecuali malam hari. Waktu di mana tubuhnya dipersilakan rehat sementara pikirannya menjelajah ke berbagai tempat tiada henti. Menunggu waktu sampai pejaman matanya diajak untuk benar-benar terlalap, baru istirahat menjadi hadiah kecil dari harinya yang panjang.

       Pagi, siang, atau sore, tidak ada yang spesial. Hanya waktu di mana aktivitasnya sedang berjalan. Menarik diri atau menjemput sosialisasi, yang penting tuntutannya sebagai makhluk sosial terpenuhi.

        Namun, sore ini berbeda. Rasanya seperti ... mendebarkan? Menunggu seseorang datang menjemputnya karena janji kecil tadi malam membuat jantungnya berdebar. Apa menunggu memang selalu segugup ini?

       "Sore, Ra," sapa hangat sebuah suara yang sudah Ara hapal siapa pemiliknya.

       Ara yang tengah duduk di kursi luar indekosnya berdiri. Ia mengukir senyum kecil (dan kikuk) sebagai sapaan. "Hai," jawabnya singkat. Tangannya menerima uluran helm milik Aksa, lalu memasangnya di kepala. Ia naik di boncengan motor setelah selesai mengaitkan tali helmnya.

       "Siap?" tanya Aksa sambil membenarkan spion motornya. Bibirnya mengulas senyum tipis saat mendapati pantulan sosok perempuan yang duduk di boncengannya dari kaca spion.

       Perempuan itu berdeham lalu mengangguk. Tangannya menggantung di udara, serba salah harus memposisikan tangannya di mana. Setelah bergulat beberapa detik dengan pikirannya, Ara memundurkan posisi duduknya dan memegang jok motor belakang.

       Kemeja putih dengan garis-garis biru tampak pas dikenakan oleh Aksa. Wangi mint lagi-lagi menyeruak dari laki-laki itu, berkelana tanpa perimisi menghampiri indra penciumannya. Di belakang, Ara mati-matian menenangkan jantungnya yang semakin tak terkendali. Banyak hal yang akhir-akhir ini menjadi sulit dipahaminya. Seperti "tidak sengaja" memberi atensi pada stimulus bernama Aksa lantas membuat hal-hal asing menyapanya bergantian. Ia kebingungan, tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aneh, pun asing.

       Selama hidupnya, ia tidak pernah menghabiskan waktu diam di depan lemari untuk memilih baju nyaris satu jam, kecuali hari ini. Memilih make up yang harus dikenakannya hari ini dan menyemprotkan parfum berulang kali sampai bajunya sedikit basah. Hal yang benar-benar tidak pernah dilakukannya.

       "Sampai."

       Mata Ara mengerjap, tak sadar bahwa motor yang dinaikinya sudah berhenti di parkiran toko Merbabu. Ia turun dari motor, melepas helmnya, lalu menatap sekelilingnya linglung. Mulutnya terbuka, hendak mengajukan pertanyaan.

       "Katanya nggak hapal jalan?"

       "Oh, iya, ya," kata Aksa sambil tertawa kecil. "Tadi sebelum berangkat, aku cek di Google Maps dulu," lanjutnya ringan sambil melepas helmnya.

       Memilih untuk mengabaikan jawaban Aksa, Ara justru memberi perhatiannya pada kegiatan Aksa yang tengah melepaskan helmnya. Kenapa, ya, ada manusia yang melepas helm dan mengacak-acak rambutnya saja terlihat menarik?

       "Nyari buku apa?" tanya Ara setelah mereka masuk ke dalam toko buku. Kepalanya menoleh, sedikit menengadah karena tingginya hanya sampai leher kawan bicaranya. "Kalau buku lama, nggak bakal nemu di sini kayaknya."

       "Novel, bukan buatku, sih," kata Aksa. "Biasanya, perempuan suka novel apa?"

       "Tergantung. Buat siapa?"

       "Delsa. Ingat nggak? Yang waktu itu kita ketemu di Kota Lama."

       "Oh, Delsa," kata Ara, mengabaikan sesuatu yang mengganjal di hatinya. "Dia sukanya buku kayak apa?"

Magnet [Selesai]Where stories live. Discover now