[21] Kilas Balik

1.3K 304 28
                                    

       [Pertama Kalinya: Dijemput Orang Tua]

       Hari ini, umurnya genap 12 tahun.

       Segenggam kebahagiaan membeludak dalam hatinya. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum sejak masuk sekolah tadi pagi. Bertekad hendak menjadi manusia paling bahagia di dunia ini sebab umurnya bertambah satu angka.

       Kata Papa, ulang tahun adalah perayaan menuju semakin dewasa. Bukannya menjadi dewasa menyenangkan? Bisa membeli segala hal yang dimau, bisa menyuruh anak kecil untuk mengambil ini-itu, juga bisa didengar oleh orang lain karena menjadi anak kecil artinya segala perkatannya tidak akan menjadi pertimbangan orang dewasa. Ah, membayangkannya saja terasa menyenangkan.

       Masih dengan senyum yang terukir di wajah, tangannya terulur keluar atap sekolah. Hujan tengah menghampiri Kota Bandung. Rasanya semakin teduh sebab dingin Bandung bercampur aduk dengan hembusan angin dari air hujan.

       "Aduh!" Ia jatuh tersungkur karena badannya ditabrak oleh seseorang. Rok birunya sedikit basah terkena air hujan. Senyumnya lantas lenyap, berganti dengan decakan. "Kalau jalan lihat-lihat, dong! Sakit, nih!"

       Anak laki-laki dengan tubuh gempal itu mengulurkan tangannya, merasa bersalah. "Maaf, Kara. Aku enggak lihat ada orang."

       Ara mendengus. Ia menerima uluran tangan dari teman sekelasnya sambil merengut. "Ya, dimaafin."

       Koridor sekolah sedikit ramai. Banyak murid yang masih terjebak di sekolah karena hujan turun tanpa diundang siang ini. Tidak semua orang memiliki mobil, pun tidak semua orang tua memiliki waktu untuk menjemput anaknya. Bagi sebagian orang, menunggu menjadi satu-satunya pilihan untuk tetap dapat pulang.

       "Kamu enggak pulang?" Anak laki-laki itu bertanya karena keduanya sibuk saling diam memerhatikan tanah yang dihujami air hujan.

       "Aku lagi nunggu orang tuaku."

        Matanya langsung berbinar. "Kamu dijemput orang tuamu?"

       "Iya."

       "Hebat!"

       Bola mata Ara ikut berbinar. Ia menatap sepasang mata hitam pekat milik kawan bicaranya sambil tersenyum lebar. "Hebat, 'kan?! Sepertinya, dijemput orang tua saat pulang sekolah terasa menyenangkan!" katanya girang.

       "Bagaimana rasanya?"

       "Hmm." Ara bergumam sambil memainkan kedua jari telunjuknya. "Entah. Ini pertama kalinya aku menunggu dijemput orang tua."

       "Bagaimana jika mereka tidak datang?"

        Ara lantas bersedekap. "Mana mungkin! Orang tuaku pasti menepati janji."

       "Mau kuberi tahu satu rahasia?" Anak laki-laki itu mendekatkan diri ke telinga Ara. "Dulu pas aku masih kelas 5 SD, orang tuaku bilang akan menjemputku pulang sekolah. Terus, aku nunggu sampai sore di sekolah, sendirian, dan ternyata mereka enggak datang!" katanya dengan seruan nada semangat.

       "Serius? Kamu enggak sedih?"

       "Serius!" jawabnya mantap. "Aku sedih, tapi bingung juga. Akhirnya aku jalan kaki pulang ke rumah."

        "Emang sekolahmu dekat dengan rumah?"

        "Jauh! Harus jalan kaki satu jam, tapi aku kan hebat," katanya sambil menepuk dadanya bangga. "Kamu tahu apa yang terjadi pas aku sampai di rumah?"

       "Orang tuamu minta maaf?"

        "Enggak. Mereka lagi teriak-teriak di rumah, enggak tahu kenapa. Rumah berantakan, Bibi yang jaga rumah sembunyi di kamar dengan adikku yang masih kecil."

Magnet [Selesai]Where stories live. Discover now