Chapter 23

512 59 51
                                    





Sudah satu minggu berlalu, dan keadaan Chengxin mulai membaik. Dia sudah banyak dijenguk orang. Selain keluarga Zhixin, Chengxin tidak menyangka ia akan dijenguk oleh seorang Huang Qilin, musuh bebuyutannya. Bukan musuh, hanya saja mereka selalu terlibat pertengkaran kecil akibat ulah usilnya seorang Ao Ziyi. Mengingat hal itu membuat Chengxin tersenyum hingga Alice sang ibu pun ikut tersenyum hangat.

“Anak sulungku sudah benar-benar sembuh ?”

Chengxin terkesiap, lalu ia menoleh ke arah malaikatnya yang tetap cantik meskipun usianya sudah tidak muda lagi, “Aku rindu suasana sekolah. Sebentar lagi ujian akhir. Aku pasti tertinggal banyak.”

“Anakku kan pintar.” Ucap Alice sambil mengusak surai Chengxin.

“IBUUUU !”

Suara teriakan nyaring terdengar dari lantai atas. Nampak Shuai dengan seragam rapihnya yang berlari kencang menuju meja makan. Ia tergesa memakan sepotong roti dan meminum habis satu gelas susunya.

“Hiss.. kenapa terburu-buru sayangku ?” tanya Alice khawatir.

Sang ibu menangkup kedua pipi anak bungsunya, lalu membersihkan sisa noda susu yang masih menempel pada sudut bibir buah hatinya.

“Zhixin menunggu di depan bu. Aku berangkat dulu ya.”

Shuai memegang kedua tangan sang ibu yang mengusap pipinya, kemudian ia mengecup kedua pipi Alice dan belari kecil ke arah Chengxin untuk melakukan hal yang sama. Pasangan anak dan ibu terkekeh gemas melihat perilaku si bungsu yang mulai menginjak usia remaja.

“Dia sama sepertimu yang tidak pernah membiarkan Yuhang menunggu lama.”

Perkataan Alice berhasil membuat Chengxin tertunduk. Hal itu tidak akan pernah terjadi lagi. Tidak akan ada teriakan buru-buru Chengxin karena Yuhang sudah menunggunya di gerbang rumah. Melihat perubahan sang anak, Alice menghampirinya.

“Berdamailah dengan masa lalu sayang. Semua orang punya bahagia masing-masing.”

“Aku akan berusaha dengan baik.”

***



Kali ini hujan tidak turun. Langit begitu indah dihiasi dengan sedikit awan yang berbentuk seperti kapas. Hingar bingar sejuknya suasana pagi menemani Ma Jiaqi dengan dokumen yang masih belum terselesaikan dari semalam. Secangkir teh hangat diantarkan oleh pelayan guna ikut merelaksasi pikirannya. Masih jam tujuh pagi, ada dua jam lagi menuju waktu pembelajaran seperti biasa. Ujian akhir sebentar lagi, pastinya sang guru privat akan menjejali Jiaqi dengan beragam materi yang sudah dipersiapkan untuk memudahkannya dalam mengisi soal-soal.

Sudah menjadi resiko, ia tidak punya sekelompok teman pada usia remaja. Anak satu-satunya dari keluarga Ma yang dianugerahi dengan harta warisan serta perusahaan yang cukup banyak membuat ia harus mengorbankan kehidupan sosialnya.

“Ma ge.”

Jiaqi terperanjat saat sepasangan tangan lentik melingkar di lehernya. Tidak ada siapapun yang berani masuk ke balkon kamarnya kecuali Eunxi dan para pelayan yang mengantarkan makanan atau minuman.

“Bukannya kau akan ikut Yuhang kesana ?”

Hening. Tak ada respon dari sang sepupu. Jiaqi pun mengalah untuk menyimpan dulu dokumen dari tangannya. Mengalihkan atensinya kepada Eunxi, karena ia paham pasti wanita di sampingnya memiliki sebuah masalah lagi. Firasat Jiaqi benar ketika dirinya mendapati Eunxi yang sudah berurai air mata.

“Ma ge. A-aku benci Ding Chengxin.” lirih Eunxi

Jiaqi tersenyum, “Jika kau membencinya, berarti kau membenciku juga.”

Dia (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang