Chapter 27

487 57 37
                                    


Menetralkan detak jantungnya, Shuai tersenyum lemah. Ia menatap wajah damai Zhixin yang terlelap nyaman sambil memeluknya dari samping. Semalam penuh mereka habiskan bersama. Tidak, mereka sama sekali tidak melukan apapun. Hanya berbagi kehangatan sebagai pengantar tidur bagi keduanya. Semenjak pengakuan mengejutkan bocah bernama asli Su Xinhao tadi malam, Zhixin nampak diam. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya selain isak tangis dan dekapan erat seolah ia tak mengizinkan bocah manis itu bergeser sedikitpun dari tubuhnya.
Shuai menggeserkan badannya lebih dekat. Tidak diragukan lagi bahwa dirinya begitu mengagumi wajah Zhu Zhixin yang terlihat seperti pahatan bidadara. Hidung mancung, kulit putih, rahang tegas dan jangan lupa bibir indahnya yang pernah memberikan sebuah kecupan hangat pertama kali di tepi danau.

Setelah puas menikmati keindahan makhluk di sampingnya. Shuai mengarahkan pandangannya ke langit-langit kamar. Sepintas dari masa lalu kembali berputar dalam pikiran. Ia ingat betul bagaimana rasanya saat tubuh terlempar jauh dan terjerembab. Kepalanya terbentur tepat mengenai sudut tajam bebatuan di pinggir jalan. Darah pun mengalir cukup deras dan saat itu ia tak mengingat kejelasannya seperti apa. Hanya saja saat dulu ia terbangun di sebuah ruangan fasilitas lengkap rumah sakit ternama, yang pertama ia lihat adalah sosok ibunya, Chengxin dan dokter yang ia ketahui adalah ayah dari Guanyu.

Shuai kembali meneteskan air matanya, sesak ia rasakan kembali saat dua tahun lalu orang yang sangat ia tunggu tidak ada disana. Jangankan untuk mengucapkan kata, kehadirannya pun sudah tak terlihat. Dari kejadian tersebut, Shuai berjanji. Melupakan Zhixin adalah suatu hal yang mutlak. Bisa tidak bisa harus ia lakukan.  Dan satu-satunya cara yang terbesit saat itu, berpura-pura hilang ingatan. Berpura-pura sampai akhirnya harus terbiasa. Namun nihil, tekad yang dibentuk selama dua tahun luntur seketika saat Zhixin berani menciumnya malam itu. Dengan begitu tololnya Shuai merasa bahwa dirinya benar-benar lemah.

Bayangan Calissa masih menjadi sosok yang menghantuinya setiap malam. Kepingan kenangan buruk dengan wanita tersebut membuat Shuai terkadang harus merasakan nyeri yang teramat berat di kepalanya. Puncak dari rasa sakit bocah manis itu Shuai rasakan hampir satu bulan kemarin. Ketika Yuhang menyebutkan kata ‘monster’, entah kenapa bayang-bayang menyakitkan di tengah jalan tersusun menjadi sebuah film terlarang sepanjang hidupnya. Satu malam ia tak ingat apapun. Esoknya Shuai terkejut saat tangannya digenggam oleh seseorang yang sangat ia cintai. Sosok itu terlihat ringkih dan ada beberapa jejak air mata yang masih membekas di pelupuk matanya.

Sudah cukup Shuai mengingat masa lalu. Ia kembali menyampingkan tubuhnya untuk melihat Zhixin, namun saat itu juga satu tangan kokoh mengusap lembut air mata yang menetes akibat pergerakannya.

“Apa aku menyakitimu lagi ?” lirih Zhixin.

Shuai memegang tangan itu, tangan yang selalu menjadi candu saat disentuh. Tangan yang selalu menenangkannya saat ia merasa sendu. Berniat untuk tersenyum, namun air matanya malah mengalir lebih banyak.

Zhixin menggeserkan dirinya agar lebih dekat. Ia menarik Shuai ke dalam pelukannya. Mencoba menyalurkan perasaannya lewat ciuman hangat yang ia berikan.

“Zhu.. Kau boleh membenciku setelah ini.”

“Maksudmu ?”

“Kebohongan selama kita bertemu lagi. Aku yakin tidak mudah untuk dimaafkan.”

Zhixin terkekeh lalu menarik wajah Shuai agar menatap netranya, “Apakah tidak terbalik ? justru aku yang bertanya. Kesalahanku dua tahun lalu. A-aku mohon maafkan aku.”

Shuai menggeleng cepat, saat ia mendengar suara Zhixin mulai melemah lagi seperti semalam. Dengan sigap ia menangkup wajah Zhixin. Membiarkan kedua dahi mereka menyatu seakan menyalurkan perasaan bahwa tidak sepantasnya terus berlarut dalam kesalahan tak berujung.

Dia (Completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora