7 - Kejadian Tanpa Sebab

3 1 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Nur, mau ikut Yoga nggak?." Santi memecah kesunyian.

Kunyahan Nasi Goreng dimulut melahan. Mata Nurul alihkan menatap meja. Ia sedang berfikir.

Bukan hanya Santi, Zahid, dan Adam-ayah Zahid. Menanti jawaban Nurul. Apalagi Zahid yang mengetahui keadaan psikis Nurul setelah apa yang dilihatnya dirumah Rizqon.

"Nggak sama Auntie aja, disana bakalan rame. Tiap Sabtu jam setengah sembilan pagi, kami mengagendakan ini. Tempatnya di Gor Haurkolot. Gimana? Bakalan seruuuu!!! Ikut ya?." Santi mencodongkan tubuh menatap Nurul penuh semangat.

Perlahan Nurul dongakan kepala. Tersenyum hangat menatap auntienya. "Maaf Auntie, mending Nurul dirumah aja."

Nurul masih ingat sekali, karena ia keluar rumah. Meski didampingi Zahid sekalipun. Ia mengalami kecelakaan dan tidak ingin menyusahkan orang lagi. Biarkan Nurul menenangkan jiwanya. Atas apa yang terjadi mendadak dalam hidupnya.

Santi menampakkan raut kecewa. Padahal, ia ingin memamerkan ponakannya yang Islami ini pada banyak orang. Agar banyak yang memujinya karena keluarganya begitu berakhlak.

"Kalo dirumah aja kamu pasti bosan. Disana juga, kamu bakal nemuin temen-temen baru. Lingkungan baru. Ikut ya?." Santi pantang menyerah melancarkan rencananya.

Zahid melirik pada Nurul yang terlihat tidak berselera dengan sarapannya lagi. Ia tahu pasti karena tidak enak bila menolak tawaran Ibunya.

"Mah, Nur butuh waktu buat adaptasi sama lingkungannya. Ikan aja kan nggak mudah adaptasi dari air asin ke air tawar. Kayak manusia nggak mudah adaptasi dari makanan luarnegeri ke dalam negeri. Lebih baik dia dirumah aja sama Mbak Ratna." Zahid merasionalkan semuanya.

Santi mengeluh pasrah. Zahid benar-benar merusak rencananya. Tidak mengapa. Lain kali pasti bisa. Sepertinya bukan sekarang.

"Ouhh benar juga. Ya udah nggak masalah." Nada antusias dibuatnya.

Nurul kembali memakan sarapannya. Begitu lega karena Zahid mengerti keadaannya. Sebenarnya ia juga bosan dirumah saja, tidak melihat dunia luar. Sekalinya keluar, dunia begitu sangat kejam.

Adam berdehem. Dia sudah menyelesaikan sarapannya. Menatap Nurul. Ia harus menyampaikan ini awal-awal. "Nurul."

Nurul mendongak menatap datar pamannya. "Iya Paman?."

"Tanah warisan Ibumu sekarang paman yang kelola. Apa kamu ingin mengelolanya? Atau ingin menjualnya? Itu nggak masalah. Semua ada ditanganmu."

Nurul menatap langit-langit rumah. Ia tidak mengerti apapun tentang dunia. Sejak kecil sampai sekarang, yang dimengerti Nurul hanyalah soal akhirat. Apalagi ini harus mengelola tanah. Tapi, ia akan coba mempelajarinya.

"Maaf. Paman sengaja kasih tau kamu awal-awal, agar kamu juga mempersiapkan ini matang-matang. Waktu almarhum abahmu ditanya seperti ini. Dia memilih paman yang mengelola. Katanya dia datang kesini buat urusan akhirat. Jadi, almarhum abahmu itu tinggal di Masjid dan penghasilan pengelolaan tanah, dia hanya minta tiga puluh persennya. Itu juga atas paksaan paman. Tadinya abahmu itu ora pengen acan-acan. Karena Nurul masih muda, paman pikir Nurul belajar ngolah tanah itu sendiri. Gimana?."

Adam langsung mengambil air gelas lalu meminumnya. Tenggorokkannya terasa perih karena kering dengan ucapan panjang lebarnya.

Nurul mengambil nafas. Lalu membuang perlahan. "Paman ditanah itu nanem apa?."

Adam tersenyum. Tanpa sangka, Nurul meresponnya dengan baik. Zahid hanya menikmati kopi hitam sembari mendengarkan keduanya dan Santi sibuk dengan handphonenya. Adam menaruh gelas kaca berisi setengah air itu diatas meja.

MayuWhere stories live. Discover now