04

834 119 11
                                    

Beberapa bulan berlalu. (name) dan Akaashi melalui banyak pasang dan surut, hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk kembali bersama.

"Aku ingin onigiri buatanmu." Kata Akaashi, mengecup puncak kepala (name) yang tengah memeluknya saat ini. Hari ini hari minggu, hari yang tepat untuk bermalas – malasan, termasuk sepasang kekasih ini. Mereka berdua belum beranjak dari tempat tidur mereka, padahal waktu sudah menunjukkan jam 10 pagi. Terlalu siang untuk membuat sarapan. "Onigiri? Bagaimana kalau kita beli saja? Tidak ada salahnya kan mampir ke restoran milik Osamu?" (name) mendudukkan badannya, tangan kanan digunakan sebagai tumpuan, sedang tangan kirinya mengelus rambut berantakan milik Akaashi.

"Baiklah, ayo." Akaashi mencium lembut bibir (name). Sudah 6 tahun mereka bersama, namun sensasi kupu – kupu yang terbang saat Akaashi bersikap lembut kepadanya belum juga hilang. Akaashi sudah masuk duluan ke kamar mandi, membersihkan badannya. (name) masih duduk di tempat tidurnya, mengangkat tangan kanannya ke udara, melihat cincin emas putih kembali melingkari jari manisnya. (name) sungguh tidak akan meminta apa – apa lagi di hidupnya, ia merasa cukup dengan adanya Akaashi di hidupnya. Lebih dari cukup, ia rasa.

(name) tersenyum senang, sudah lama tidak bertemu dengan Miya bersaudara. Miya Atsumu dan Miya Osamu adalah sahabat (name) dari semenjak (name) duduk di bangku sekolah dasar. Akaashi selalu memaklumi apabila (name) pergi menghabiskan waktu dengan kedua sahabatnya. Tidak ada alasan baginya untuk cemburu, Miya bersaudara adalah lelaki yang sopan dan tahu diri. Pun, Akaashi bukanlah tipe orang yang selalu cemburu.

Membutuhkan waktu 15 menit berjalan menuju restoran milik Miya Osamu, tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Di sepanjang perjalanan, (name) banyak bercerita tentang masalah yang ia hadapi selama ia bekerja di perusahaan milik keluarga besarnya. Akaashi yang mendengarkan hanya mengangguk paham. Tidak masalah bagi (name) karena Akaashi hanya mengangguk saja, menurutnya, tidak semua apa yang ia ceritakan atau yang ia keluhkan memerlukan jawaban. Terkadang ia hanya butuh seseorang di sampingnya, mendengarkan dengan seksama.

Masih bercerita tentang kehidupannya, Akaashi membuka pintu masuk restoran milik Miya Osamu, membiarkan gadisnya untuk masuk terlebih dahulu. (name) melompat senang menemukan Miya Osamu berdiri menjaga meja kasir. Mata Akaashi menjelajah sekitar, restorannya agak sepi hari ini. Tidak banyak pelanggan seperti biasanya. Akaashi memilih tempat duduk, sementara (name) memesan pesanan mereka sambil bercanda ria dengan Osamu.

"Akaashiiiiii." Akaashi sangat kenal dengan suara ini. Empunya suara mengambil duduk di hadapan Akaashi. "Atsumu." Akaashi balik menyapa. "Sudah lama ya kau tidak ke sini." Atsumu membuka obrolan, menoleh ke arah (name) yang masih bercanda dengan Osamu. "Kau juga, tumben sekali menemani Osamu?" tanya Akaashi. Atsumu tertawa, "(name) bilang ia akan mampir ke sini. Tidak ada salahnya kan bertemu sahabat sendiri?" Akaashi hanya tersenyum. "Apa kau sudah membicarakannya dengan (name)?" tanya Atsumu tiba – tiba. Akaashi mendengus kesal, topik ini tidak seharusnya dibahas. Apalagi ada (name) di sekitarnya, Akaashi masih mencari waktu yang tepat untuknya menjelaskan semuanya.

"Belum, belum waktunya."

"2 bulan lagi pertandingan akan dimulai, dia akan mengerti." Kata Atsumu mengingatkan. "Selasa depan akan ada latihan lagi, sebaiknya kau beritahu sebelum hari itu atau aku yang akan menjelaskan padanya." Akaashi memilih untuk diam. Sudah banyak pikiran yang muncul tiba – tiba, bermacam – macam resiko sampai cara mengatasinya. "Tim Nasional Jepang akan semakin kuat bersamamu, Akaashi."

Dari jauh sana, (name) bisa mendengar percakapan mereka. Kecewa. (name) menahan emosinya, tidak baik mengeluarkannya sekarang di hadapan banyak orang. (name) menghampiri mereka yang terselimuti keheningan. Memecah keheningan dengan candaanya.

Jam 3 sore, (name) dan Akaashi menghabiskan waktu santai mereka bersama Miya bersaudara. Melepas rindu antara (name) dengan kedua sahabatnya. (name) dan Akaashi pamit untuk pulang dan mengajak Miya bersaudara untuk sesekali mampir ke rumah mereka.

(name) hanya diam saja selama perjalanan pulang. Bahkan sampai di rumah, ia hanya diam saja. Akaashi tidak mengambil pusing perubahan sikap (name) yang tiba – tiba, ia berpikir mungkin gadisnya sedang datang bulan dan tidak ingin diganggu.

Hari sudah malam, Akaashi sudah tertidur pulas memeluknya dari belakang. Tangan kanan Akaashi mendekap erat pinggangnya, tangan kirinya menjadi bantalan untuk (name) yang masih membuka matanya. Pikirannya menganggu, menuntut penjelasan dan menolak untuk beristirahat.

(name) memindahkan tangan Akaashi pelan, berusaha untuk tidak membangunkan sang kekasih yang tertidur. (name) mendudukkan badannya, dilihatnya jari manis yang dilingkari oleh cincin. (name) memijat batang hidungnya, meredakan pusing yang melanda kepalanya. Menurunkan kakinya namun tidak beranjak dari tempat tidurnya.

"Apa ada masalah?" (name) menoleh, mendapati Akaashi memeluknya dari belakang, bahunya terasa berat karena kepala Akaashi. Kedua tangan Akaashi memeluk pinggang ramping milik (name). (name) menyentuh tangan Akaashi, mengisyaratkan untuk melepaskan pelukannya.

"Apa kesehatanmu tidak penting, Keiji?"

Akaashi yang setengah mengantuk kini terjaga. "Apa maksudmu?"

(name) berdiri, menghadap Akaashi. Menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Aku tanya, apa kesehatanmu tidak penting? Apa Tim Nasional Jepang lebih penting dari kesehatanmu?"

Akaashi mendesah pelan. Memang sudah waktunya untuk menjelaskan semuanya. "Ini sebuah kesempatan yang tidak akan datang dua kali, (name)."

"Lalu membiarkan kakimu cedera lagi? Dan harus menunggu satu tahun lagi untuk bermain voli? Aku tidak melarangmu bermain voli, Keiji. Tapi tidak dengan kejuaraan Internasional." (name) menangis pilu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau Akaashi akan terluka lagi selama bermain karena kakinya yang cedera saat bermain di kejuaraan Inter-High beberapa tahun yang lalu, membuat kakinya tidak berdiri seimbang apabila bermain terlalu lama.

"Jangan halangi aku dari mimpiku, (name)."

(name) sungguh tidak percaya kata – kata itu keluar dari mulut manis Akaashi. "Aku melarangmu karena aku mencintaimu, Keiji."

"Berhentilah kalau begitu."

(name) menggeleng.

"Aku lelah, (name). Aku lelah kau melarangku mengikuti kejuaraan Internasional, aku lelah bertengkar denganmu, aku lelah mendengar keluh kesahmu. Apakah pernah sekali saja kau mendengarkanku? Mendengarkan apa yang aku mau? Aku mencintaimu, sungguh, tapi aku lelah, lelah dengan semua ini." Akaashi Keiji mengeluarkan semua pikirannya yang terpendam selama 6 tahun bersama (name).

"Aku-, kita tidak bisa seperti ini," lanjut Akaashi.

"Kita tidak bisa, bukan berarti kau tidak cukup untukku. Kau lebih dari cukup, (name)."

(name) tersenyum sedih. Luka yang telah sembuh, kini terpecah. Menjadi kepingan yang mustahil untuk disatukan kembali. (name) menarik pelan cincinnya, mengembalikan cincin itu kepada orang yang telah memberikannya.

"Aku mencintaimu, Keiji. Aku berharap aku bisa berhenti mencintaimu. Kita memang saling mencintai, tapi tanpa sadar, kita juga saling menghancurkan satu sama lain." (name) menangkup wajah Akaashi. Menarik wajah Akaashi mendekat, mengecup sebentar kening Akaashi lalu mencium lembut bibirnya. Baik Akaashi maupun (name) merasakan kedua matanya mengeluarkan air mata yang tidak kunjung berhenti. (name) menarik wajahnya, melepaskan cumbuan yang biasanya mengalirkan kerinduan, kehangatan dan kasih sayang. Tangannya mengusap air mata Akaashi.

Lalu setelah itu, (name) pergi.

Meninggalkan Akaashi di dalam kegelapan. Dingin.

***

Vote dan comments sangat membantu! Terima kasih🤍

Red String | Akaashi KeijiWhere stories live. Discover now