4

62 16 2
                                    

Burung-burung berkicau manis kala sinar mentari telah sepenuhnya menyelimuti bulu-bulu mereka. Putri Al yang telah terjaga sejak rembulan masih mengecup dunia, menatap para aves itu hampa. Dirinya ingin sekali hidup bebas bak mereka walau ia tahu itu permintaan retoris. Apa yang tengah ia lakukan saat ini pun-membiar diri dirias para ahlinya karena hari ia dan Rein harus bertemu tetua kedua belah pihak kerajaan untuk memilih wewangian yang nantinya akan dipakai pada pesta pernikahan-merupakan salah satu bukti ia tak memiliki sayap dan wewenang untuk melambung seperti para burung.

"Sudah selesai, Yang Mulia," tutur ahli rias setelah memoles pewarna bibir pada katupnya. "Pangeran Rein telah menunggu di depan kamar. Yang Mulia dapat langsung menemuinya."

Belum sempat menyergah, Putri Al seketika ingat ucapan Pangeran Rein yang memintanya turut bersandiwara apabila di hadapan orang lain. Menyebalkan.

"Terima kasih, aku akan langsung menghampirinya," ujar Putri Al sembari berlalu keluar kamar dan mendapati Pangeran Rein yang tengah berkacak pinggang.

Sinar surya yang menelusup dari sela-sela jendela menyerbu pemuda itu halus, menyisiri surai hazelnya perlahan sebelum jatuh menyusuri gurat wajah cakapnya. Menyadari kehadiran Al, pemuda itu menoleh dan menyungging senyum yang langsung membuat Putri Al mematung, seolah tersihir.

"Hei, ada apa?" bisik Pangeran Rein, "kau sakit lagi?"

Pertanyaan basa-basi itu seolah menarik Al kembali pada dunia. "Ah, tidak. Aku amat sehat," sahutnya kemudian mulai kembali berjalan menghampiri Pangeran Rein yang telah mengulurkan tangan. Ia lantas menyambut uluran tangan itu lalu berjalan beriringan menuju aula kerajaan.

"Hei," panggil Pangeran Rein sesaat sebelum masuk ke dalam aula, "apa kau berniat membatalkan perjanjian kita?"

"Yang mana?"

Pangeran Rein terkekeh sejenak sebelum mendekatkan diri pada tengkuk Putri Al, "Yang mengatakan tidak ada unsur cinta dalam pernikahan kita sebab tampaknya kau telah terjerumus dalam pesonaku."

Lagi-lagi, butuh beberapa detik bagi sang Putri untuk kembali berpijak pada realita. Ia membiarkan tawa anggunnya merespons godaan itu lalu berlalu begitu saja dan sekena hati membuka pintu aula. "Kita lihat siapa yang masuk ke dalam perangkap siapa."

Begitu pintu terbuka lebar, Putri Al dan Pangeran Rein langsung dihadang oleh kerumunan prajurit yang berkumpul di tengah aula dan bau anyir yang meraja.

"Putri, mohon keluar sejenak," sergah seorang prajurit yang pertama kali menyadari kehadiran Putri Al dan kini telah berusaha menutup pintu aula namun secepat kilat ditahan oleh Pangeran Rein.

"Ada apa ini?" tanya Al yang langsung saja mendapati tubuh ayahnya berlumuran darah sebab tikaman pedang berlambang Kerajaan Timur yang menusuk dadanya. "A ... yah?"

Menyadari situasi, Pangeran Rein langsung merengkuh tubuh Putri Al yang nyaris terjatuh dan membawanya pergi menuju kamar gadis itu. Selama perjalanan, pasi menghiasi wajah Al meski riasan telah bekerja semampunya.

"Ayah ...." gumam Putri Al sedari tadi, "Ayah ... dibunuh ...."

"Hei, tenanglah," ujar Pangeran Rein sembari mengecup puncak kepala sang putri, "semua akan baik-baik saja."

"Baik-baik saja?" ulang Putri Al. "Setelah kerajaanmu menusuk ayahku, bisa-bisanya kau berkata demikian?!" pekiknya seraya mendoring paksa Pangeran Rein.

Merasa tak mengerti, Rein kembali melangkah maju mendekati calon permaisurinya, "Hei, apa-"

"Berhenti!" pekik Putri Al. "Jelas-jelas aku melihat lambang Kerajaan Timur di pedang yang tertancap pada dada ayahku! Bisa-bisanya kau ... kalian ...." Dan yang sedari tadi gadis ia bendung akhirnya tumpah pula. Air matanya kini tak bisa berhenti. Ia lalu segera berlari menuju kamarnya dan mengunci diri, menyembunyikan tangis dan seringai secara bersamaan dari Pangeran Rein yang kini dilanda bingung dan khawatir serempak.

When I Had to Marry Enemy Kingdom's PrinceWhere stories live. Discover now