6

69 13 0
                                    

Di taman belakang istana, tampak seorang pemuda tampan yang urakan tengah berduaan dengan pelayan wanita, mungkin tengah menjalin puisi asmara dari lidahnya yang berbisa. Melihat itu, Putri Al berdecak. Dengan langkah dientakkan, ia mendekati mereka.

Pelayan yang melihat kedatangan Putri Al gelagapan dan langsung berlari pergi dengan merah padam. Tatapan tajam Putri Al mengikuti kepergiannya. Melihat cebikan di bibir gadis itu, Pangeran Rein tergelak.

"Tak perlu melihatnya dengan cemburu begitu, Permaisuriku," kata Pangeran Rein menggoda.

"Permaisuri? Jangan bermimpi! Hubungan kita sudah berakhir, tidak, itu bahkan tak pernah dimulai, Pangeran," sahut Al dingin.

Rein tersenyum geli. "Kukira kau datang ke sini untuk memperbaikinya?"

Putri Al mendengus. "Aku hanya ingin meminta penjelasanmu tentang apa yang terjadi di sidang itu."

Raut wajah Rein berubah serius. "Kukira tak ada yang perlu dijelaskan."

"Kau tahu, bukan?" tanya Al pelan, nyaris berbisik. Rein menatapnya lama. "Kenapa kau tidak menggunakan itu untuk menyerangku? Kalau kau membeberkan kebenarannya, kerajaanmu akan diuntungkan."

Tak diduga, Rein menggeleng. "Aku tak bisa melakukannya. Mungkin ini terdengar bodoh, tapi aku bukan orang selicik itu. Daripada itu, kenapa kau melakukannya?"

Putri Al tergugu. Mengapa ia melakukannya? Mengapa ia membunuh ayahnya sendiri?

"Itu pengorbanan yang dibutuhkan untuk negeri ini," jawabnya dengan anggun dan datar. Ia sengaja menghindari tatapan lawan bicaranya dan berharap lelaki itu tak menyadari suaranya yang sedikit serak.

"Kau akan menjadi ratu yang hebat."

Al menatap pemuda itu terkejut. Tatapan yang terarah padanya adalah kelembutan yang sendu. Ketulusan semacam itu takkan dimiliki oleh ular yang licik.

"Apa yang kau inginkan sebagai balasan tutup mulut? Tak mungkin kau tak menginginkan apa-apa," kata Putri Al mengalihkan topik.

Pangeran Rein tersenyum usil. "Bagaimana kalau dirimu?"

Al melotot. "Kecuali itu. Aku berterima kasih atas bantuanmu, tapi aku takkan memaafkanmu kalau kau bercanda seperti itu lagi," ujarnya sambil melangkah pergi dengan kasar.

Tak disangka, Rein menahan tangannya dan memaksa gadis itu berbalik, lurus menatap matanya yang tanpa pretensi.

"Aku bersungguh-sungguh. Alisa, kalau kau memberiku kesempatan sekali lagi, aku berjanji akan mendukungmu memimpin negeri ini dan takkan membiarkan kerajaanku mengintervensi."

Putri Al menepis tangan lelaki itu. "Tolong jaga sikapmu, Pangeran Rein. Kita tidak seintim itu."

Rein menggeleng. "Terlahir sebagai anak kedua, aku tak pernah memimpikan kekuasaan. Hanya kedamaian kedua kerajaan saja sudah cukup untukku. Dan sekarang, setelah bertemu denganmu, keinginanku bertambah lagi."

Al menahan napas. "Apa itu?"

"Aku ingin melindungimu, seperti yang kulakukan saat sidang waktu itu."

Sekali lagi, Al tercekat. Tiba-tiba saja, darah serasa naik ke wajahnya. Tatapan itu membuatnya kehilangan fokus seperti permen kapas yang lembut nan manis. Ia merasakan geli di perutnya seolah ada kupu-kupu mengepakkan sayapnya di sana. Segera, Al mendorong Rein menjauh dan melangkah pergi dengan terburu-buru, mengabaikan pemuda itu yang tampaknya masih ingin berbincang.

"Alisa ...."

Langkah Putri Al goyah. Ia harusnya membenci pemuda itu. Ia harusnya menolak Rein. Seharusnya Rein hanyalah pangeran selicin ular yang menebar feromon ke sana kemari. Ia adalah pangeran dari negeri musuh. Lalu kenapa ....?

Putri Al nyaris membeku begitu menyadari perasaannya yang kompleks. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Aku tak keberatan kalau kau mau membantuku menemukan pihak yang ingin menghancurkan kedamaian itu."

Mendengarnya, manik Pangeran Rein membulat. Seulas senyum terukir di wajahnya, tulus dan samar. Ah, dia memang putri yang tak mudah ditaklukkan, batinnya.

Sementara itu, Putri Al yang melangkah anggun menuju kediamannya mengusap pergelangan tangannya, seolah ingin menghapus jejak sentuhan lelaki itu. Ia menelan ludah, mengenyahkan seluruh perasaan ganjil yang menyerangnya tadi.

Meskipun Rein berbeda dari ayahnya, Al tak boleh membiarkan lelaki itu menyusup ke dalam hatinya, bahkan jika memang dia tulus. Kalau hatinya selemah itu, pengorbanan ayahnya takkan berarti.

Aku adalah putri Kerajaan Timur Laut yang akan melindungi negerinya tanpa kelemahan hati. Apapun yang terjadi, aku takkan takluk pada negeri musuh. Aku tak boleh takluk pada lelaki itu.

-E N D-

Wayolo, gantung, ya? HAHAHA maaf banget ya readers kalo kami sekeji itu. Tapi ini memang hanyalah cerita pendek hasil kolaborasi kami, kami belum ada niat untuk membuat cerita panjang dalam waktu dekat. Kami masih dalam tahap cicip-cicip permukaan air.

Semoga walaupun menggantung tetap memuaskan, ya! Jangan lupa sampaikan kesan dan pesan kalian lewat komentar~

When I Had to Marry Enemy Kingdom's PrinceWhere stories live. Discover now