Part 14 : Hatinya Bukan Milikku

2.6K 226 31
                                    

Sebelumnya aku mau ngucapin terima kasih banyak atas dukungan dan antusiasme para pembaca. Kalian luar biasa, Guys. So, hari ini, bertepatan dengan hari kemerdekaan tanah air kita, Republik Indonesia, aku akan double update! Part selanjutnya aku update nanti siang, ya?

Have a good time for reading, Guys.
.
.

Malam pertama di rumah mertua. Walau sudah beberapa kali memasuki kamar depan, bilik kanan di lantai dua, aku selalu terpana. Kamar luas dengan dua jendela besar di dua sisinya. Satu menghadap taman depan dan satunya lagi menghadap taman samping yang merupakan spot barbeque, atau lebih tepatnya jendela yang merangkap fungsi pintu menuju balkon.

Kamar bergaya klasik ini memiliki satu ranjang king size dilengkapi lemari besar empat pintu di sebelahnya. Di sebalik kepala ranjang terdapat meja dengan rak buku di bawahnya. Sesuai sekali dengan ranjang yang kuidamkan, menyatu dengan rak buku bacaan. Ada meja dan kursi santai juga di balkon samping yang menyatu dengan balkon kamar sebelah.

Ah, benar, kamar ini memiliki pintu penghubung ke kamar sebelah di dekat pintu kaca. Seperti lorong kecil karena dinding sekat kamar mandi yang berada di dalam kamar. Kata Mami, Lin akan tidur di kamar sebelah, sehingga ia bisa tetap mengawasi tanpa membuatku mual.

Setelah makan malam dan berbincang sebentar dengan Mami dan Papi, aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat. Satu hal baru yang kuketahui hari ini, selain aroma tubuh Lin, aku juga tak bisa menghidu aroma uap nasi. Masyaa Allah, begitu banyak perubahan dalam hidupku selama mengandung janin ini.

Aku mendengar suara ketukan dari pintu penghubung. Kemudian suara Lin terdengar setelahnya.

"Hafsha, saya masuk, ya?"

"I-iya," jawabku setelah mengenakan jilbab instan yang kuletakkan di atas nakas.

Lin masuk dengan membawa segelas susu cokelat. Aku begitu hapal dengan aroma tersebut karena aku sangat menyukainya sejak kecil.

"Diminum dulu susunya sebelum tidur." Lin meletakkan gelas tersebut di atas meja kecil tak jauh dari pintu penghubung.

Kulihat dia mengecek pintu kaca yang sudah tertutup gorden besar bewarna olive. Memastikan bahwa pintu sudah terkunci sempurna. Lalu memandangku sebentar. Membuat sesuatu di dalam sana seolah sedang menggedor-gedor. Allah, tatapannya membuat aku menjadi salah tingkah. Sampai kapan ia akan terus begini?

"Selamat tidur," ucapnya kemudian.

Langkahnya kembali masuk ke dalam kamar lewat pintu penghubung. Membuatku menghela napas panjang. Menetralkan degup jantung yang tak keruan.

Aku yang masih duduk di atas ranjang segera mengambil gelas tersebut kala tubuh Lin menghilang di balik pintu. Menenggak habis susu ibu hamil rasa cokelat, lalu menuju kamar mandi, melakukan rutinitas sebelum tidur.

****

Sudah dua jam lebih aku mencoba lelap dalam tidur. Namun, suasana baru menyulitkanku untuk segera berlabuh di dermaga mimpi. Padahal, mata ini sudah terasa berat sedari tadi. Kulihat jam dinding di atas meja kecil tempat Lin meletakkan gelas sebelumnya, masih menunjukkan angka setengah sebelas. Belum tengah malam, pikirku.

Aku bangkit dan membuka gorden, pelan. Takut membangunkan Lin yang mungkin saja sudah tertidur karena besok ia akan mulai kembali bekerja. Namun, tanganku terhenti kala mendengar kelakarnya dari balkon kamar. Samar-samar aku mendengar setiap kalimatnya yang lembut dan pelan.

HAFSHA - Ketika takdir menggoreskan luka [Terbit] ✔️Where stories live. Discover now