09 • [Navdä]

93 24 25
                                    

Point of view || Author

"Ucapkan sekali lagi, Cann." Lucy meyakinkan Canna sekali lagi.

Canna menghela napas. Mengeratkan pegangannya pada tongkat sihir lalu mengayunkannya pelan "....."

Sejenak Lucy dan Blaire yang mengamati terdiam. Menunggu sesuatu terjadi, apapun itu.

Satu menit berlalu. Dan suasana tetap sama. Mantra yang diperuntukkan agar benda-benda kecil di kamar Blaire bergerak ternyata tak berhasil oleh Canna.

"Argh!" Canna menggeram kesal, ditatapnya lekat-lekat buku-buku dan alat tulis Blaire yang dijadikannya objek latihan. Tanpa diduga semuanya melayang-layang, padahal Canna sama sekali tak mengayunkan tongkat sihir dan tak mengucapkan apa-apa.

"A-apa?! Kau bisa, Canna." Lucy terperangah.

"Itu jelas bukan sihir." Blaire berkata demikian sambil memutar bola matanya malas.

Canna menatap Blaire seolah menanyakan apa-maksudmu-berkata-demikian? Gadis berambut pirang keemasan itu menatap Canna santai. "Itu kekuatanmu yang sesungguhnya. Alam. Kau, bisa dengan mudah menggunakan udara untuk membuat benda-benda itu melayang-layang," jelasnya.

"Wah, aku tidak menyangka. Sungguh." Lucy bersikap dramatis dengan memeluk Canna erat. "Aku bangga padamu." Seolah belum cukup dengan pelukan itu, kini Lucy malah menangkup wajah Canna gemas dan menarik-narik tangannya.

Canna tertawa. Tak sia-sia ia memiliki teman seperti Blaire dan Lucy. Tentu saja mereka membantunya, disaat orang lain bahkan selalu meremehkan dirinya. Karena tak sempat latihan, Lucy bahkan rela menginap di kamarnya malam-malam. Bukan dengan mudah tentu saja, mendapatkan izin kepala penjaga asrama sengat sulit. Lucy berkali-kali berkelit hanya ingin belajar bersama, dan sudah berjanji hanya untuk malam ini saja. Blaire bahkan sudah menyiapkan camilan kecil untuk menemani latihan.

"Sekarang, lebih baik kita mengobrol. Nikmati waktu yang tersisa, girls. Soal latihan Canna, bisa dilanjutkan besok," kata Blaire. Si penyihir cilik itu tampak berpikir mengapa Lucy menatap horor padanya setelah ia berkata demikian. "Ck, oh ayolah Lucy ... aku tahu tujuanmu menginap adalah membantu Canna. Tapi tidak bisakah kita berbincang untuk sisa malam ini? Hei, bahkan Canna sudah menunjukkan sedikit kemajuan."

"Blaire benar. Aku bisa berlatih esok hari," timpal Canna sambil membuka bungkus sandwich yang dibelinya dari kafetaria tadi. "Lagi pula, kita sudah jarang mengobrol tentang kelas dan sebagainya sejak kita terpisah dengan kesibukan masing-masing, 'kan?" Canna berusaha meyakinkan. Senyumannya mengembang tatkala melihat Lucy mengangguk dan tersenyum padanya dan Blaire.

"Sebenarnya, aku ada sedikit, eum ... semacam ... masalah dengan teman sekamar." Lucy dengan santai merebut sisa soda Blaire yang tinggal setengah kaleng itu.

"Hah?" Blaire memakan kentang gorengnya santai. "Teman sekamar? Jika diingat-ingat, kau memang tidak pernah bercerita soal itu," lanjut Blaire. Benar memang, selama ini Lucy tak pernah sedikit pun menyinggung teman sekamar pada Blaire. Itu sedikit mengejutkannya.

Canna memberi respon berbeda dengan Blaire. Dia memilih untuk diam dan mengamati, sebelum akhirnya membuka suara. "Lory? Apa dia tidak ramah?" tanya Canna. Muncul sebersit rasa curiga pada teman sekamar Lucy--yang bahkan belum pernah ia lihat-- itu.

The Siver CrownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang