15. yang sebenarnya

703 37 43
                                    

Mellysa menangis sejadi-jadinya menumpahkan, air mata yang selama ini ia simpan. Ia memeluk batu nisan bertuliskan nama 'Vivi Amelia' dengan sangat erat, seolah ia tidak akan melepaskan nya lagi.

Vivi sahabat yang paling mengerti dirinya kini sudah pergi meninggalkan nya, beberapa bulan yang lalu. Tuhan memang tidak adil ia mengambil setiap nyawa orang yang sangat berharga dalam hidupnya.

"Lea, satu jam lagi pesa—" ucapan Edward terputus begitu saja.

"Gue mau sama Vivi, gue Mau nyusulin dia...." Mellysa menangis sesegukan dengan air mata, yang terus mengalir deras membasahi pipinya.

"Dia udah pergi, ikhlasin kepergian dia. Dia udah bahagia di sana," ujar Edward membawa tubuh Mellysa ke dalam pelukan nya.

"Ini semua gara-gara Antares gue benci sama dia....Dia jahat." Mellysa menumpahkan segala keluh kesalnya pada Edward. Manager sekaligus sahabatnya.

Edward mengusap lembut surai panjang Mellysa, ia sudah tau keadaan Mellysa jadi ia tidak perlu kaget dengan apa yang Mellysa alami.

"Kenapa kamu, ga bilang semuanya sama Antares? Dia pasti ngerti."

"Jangan, cuman lo sama Jackson yang gue percaya saat ini. Tolong jangan bilang apa-apa sama Antares, gue gamau nambah beban buat dia," ujar Mellysa seraya meremas kameja Edward.

"Aku sedikit kecewa sama kamu, karena udah percaya lagi sama Antares. Padahal dia udah keterlaluan sama kamu."

Mellysa mengusap air mata nya kasar, "itu cuman masa lalu, sekarang Antares baik kok."

Edward menatap nya sedih. Ia sebenarnya tidak ingin ikut campur rumah tangga Mellysa, "Jangan nangis lagi ya, Vivi udah bahagia di sana." Edward berusaha mengalihkan arah pembicaraan.

Mellysa tersenyum miris, berusaha menahan rasa sakit di dadanya. "Antares jahat, dia udah bikin Vivi lumpuh." Mellysa kembali mengeluarkan air mata nya, saat mengingat bagaimana kondisi Vivi setelah Antares menabrak nya tiga tahun yang lalu.

"Kamu masih inget?" tanya Edward.

Mellysa jadi bernostalgia. Pada kejadian tiga tahun."Gue masih inget, semuanya. Gue ga akan pernah lupa, gimana tersiksa nya Vivi. Gara-gara Antares, Vivi pergi tinggalin gue." Mellysa terisak dengan tangisan yang begitu memilukan.

"Antares, ga tanggung jawab waktu nabrak Vivi, dan malah kabur gitu aja. Kamu yakin? Buat naruh kepercayaan lagi sama Antares?"

Mellysa menganguk.

"Kamu sabar ya, Tuhan pasti punya rencana indah buat kamu."

Mellysa memandang kosong ke depan, "gue sebenernya cape, harus pura-pura kuat. Di depan semua orang," ujarnya.

"Aku tau, apa yang kamu rasain." Edward tersenyum kecil, "Kamu masih, mau balas dendam sama Antares?" tanya Edward dengan sangat hati-hati.

"Gue cape harus pura-pura ga peduli sama Antares, gue tau Antares selalu nangis tiap malem gara-gara gue. Gue gamau nyakitin dia terus. Biar bagaimana pun dia suami gue," jawab Mellysa.

"Terus kamu, lupain perlakuan Antares di masa lalu. Gitu aja?" tanya Edward geram.

"Iya, gue mau perbaiki hubungan gue sama Antares nanti. Walaupun gue tau, gue ga punya...." Mellysa tak melanjutkan kata-kata nya, ia terlalu lemah untuk mengatakan nya.

"Jangan terlalu di pikirin, nanti botak." Edward tertawa hambar, walaupun ia tidak rela jika Mellysa menaruh kepercayaan lagi, pada laki-laki bajingan seperti Antares.

"Waktu itu gue mau, datang ke pemakaman Vivi, Bara jemput gue di rumah. Percaya ga lo? Gue di tuduh selingkuh?" ujar Mellysa mulai bercerita.

"Percaya, mereka emang suka berprasangka buruk sama kamu."

I'm Not Fine [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora