Prolog

7 0 0
                                    

Malam yang indah dengan sebuah bulan purnama besar menghiasi langit. Taburan bintang-bintang seperti permata mengitari bulan yang bersinar berwarna biru itu, memancarkan sinar yang mengerangi langit malam. Serta bayangan cermin terpancar di atas langit, dengan ufuk langit yang berperan seperti cermin.

Seharusnya, ini adalah hari yang indah. Tetapi ... mengapa sesuatu seperti ini harus terjadi?

"Lepaskan, Ishio!"

Seorang gadis kecil memberontak, ketika tubuhnya terikat oleh tali. Kedua tangan dan kakinya tak bisa bergerak, sang gadis hanya bisa tertidur di atas sebuah gerobak yang usang, yang atasnya ditutupi oleh terpal.

Mata gadis itu berkaca-kaca, air mata menetes membasahi wajahnya. Ia menatap ke luar celah gerobak, memandang sosok laki-laki yang berdiri di sana. Ada rasa marah, tentunya ... dan juga kesedihan, matanya yang menggambarkan semua perasaan dalam hatinya, mata birunya yang begitu indah seperti bulan purnama saat ini.

"Ini demi kebaikan Anda, nona." Pria itu nampak tak peduli, ia tersenyum dengan senyuman terbaiknya, melambaikan tangan kanannya, seraya gerobak itu pergi menjauh.

Biarlah sang gadis membencinya, biarlah gadis itu marah padanya. Namun, ia berjanji takkan membiarkan sang gadis terluka. Pria itu telah berjanji untuk memberikan yang terbaik padanya. Tetapi mengapa? Hatinya terasa sakit, ketika ia memaksakan dirinya untuk tersenyum. Seolah ia hendak merobek mulutnya yang lancang, seolah ia ingin menarik keluar jantungnya dan menginjaknya tanpa ampun.

Ah, sudahlah ... semua telah terjadi. Sang pria ... ia bernama Ishio, berjalan kembali menuju sebuah desa di belakangnya.

Suara lentingan besi terdengar seraya ia berjalan. Itu karena Ishio menggunakan pakaian besi yang menutupi seluruh tubuhnya, terkecuali kepalanya. Di belakang lehernya, terjurai hingga ke kakinya, terbentang jubah biru tua yang begitu indah tanpa kelim.

Pria itu berjalan menuju gerbang desa, yang disana berdiri dua orang dalam pakaian besi juga. Mereka membungkuk ketika bertemu dengan Ishio, mempersilahkannya untuk segera masuk.

Ishio duduk di sebuah air mancur yang sudah tidak memancarkan air, menaruh pelindung kepala yang ia bawa di sebelahnya. Ia mendongak, sambil menghirup udara segar dalam-dalam. Menikmati bagaimana indahnya langit malam, sebuah mahakarya yang tak bisa terlewatkan.

"Sungguh langit yang indah ... pantas saja, Nona Meishia amat menyukainya," ucapnya lirih, tersenyum melihat permata di atas langit itu.

Rambut hitam legamnya yang terurai tertiup oleh angin malam yang dingin. Ia membenarkan rambutnya, yang sempat menutupi matanya. Tentu ia tak mau rambut itu menutupi matanya, ia tak ingin melewati pemandangan yang amat disukai gadis kecil itu.

Walau demikian ... apakah ia benar-benar menikmati malam ini? Mengapa hatinya terasa begitu hambar?

Tiba-tiba saja, sesuatu mengalihkan perhatiannya. Debu yang tertiup tertawa oleh angin, menyelinap masuk ke dalam matanya. Hingga ia tersentak, membuat air mata menetes membasahi matanya.

"Debu yang begitu mengganggu," Ishio berceloteh. "Bisakah kau membiarkanku menikmati malam indah ini lebih lama?"

Ia mencoba membuka matanya, menampakkan mata berwarna cokelat kekuningan yang kini menjadi sedikit merah. Sang pria pun menutup matanya lagi, berusaha menghilangkan rasa perih yang tak kunjung hilang.

Saat ia sibuk dengan matanya, langkah kaki terdengar mendekatinya. Langkah kaki yang tadinya terdengar samar-samar, lama-kelamaan terdengar begitu pasti. Menampakkan seseorang yang berjalan memakai tongkat.

Legenda Armea: Meishia - Kengerian AstreaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora