Bab 1 - Hari yang Baru

2 0 0
                                    

Tragedi mengerikan itu telah berlalu. Lima tahun lamanya ... dan sepertinya, aku masih belum bisa melupakannya.

"Hap!"

Suara pedang terdengar begitu nyaring, beradu satu sama lain. Seorang gadis kecil memegang sebuah pedang yang terlihat kebesaran, dengan kedua tangannya yang penuh dengan keyakinan.

Kaki kirinya maju selangkah, dan kaki kanannya menopang tubuh, sebuah kuda-kuda yang sudah sering ia pelajari. Wajahnya yang berbentuk bulat bermandikan keringat. Matanya yang berwarna biru, menusuk setiap pandangan di hadapannya. Bahkan ia menekuk alisnya, memutar otaknya mencari celah yang dimiliki lawan.

Ia maju perlahan-lahan, mengambil posisi yang tepat. Hingga akhirnya ... ia melesatkan langkahnya dalam satu hentakkan, mengayunkan pedangnya dari atas sekuat tenaga. Rambutnya yang terlihat berkilau seperti silver, berayun seiring dengan irama langkah sang gadis..

Lentingan pedang menggema, sang gadis tak menyangka gerakan lawannya begitu cepat. Padahal sebelumnya, pedang sang lawan masih menancap di tanah, setelah lawannya itu melakukan serangan. Tetapi, serangan balasan dari gadis itu tak mempan, dan mereka malah beradu pegang.

Tentu saja, jika itu soal kekuatan, sang gadis kalah telak ... karena itu, ia memilih untuk menarik kembali pedangnya dan segera mundur, lalu bersiap lagi dengan kuda-kudanya.

Aku pernah menyaksikan Ishio berlatih pedang.

Sang gadis memperhatikan mata sang lawan, mata cokelat yang menatapnya dengan begitu tajam. Mata tersebut berputar-putar menyisir setiap tubuh sang gadis, namun akhirnya selalu kembali menatap matanya. Mereka saling bertatapan.

Ishio selalu mengecoh lawan dengan menyerang ke titik yang tak terduga. Lalu, ia akan memutar balik serangannya menuju titik vital, membuat lawannya kebingungan di awal, dan menekannya dengan ancaman yang serius.

Keduanya saling berdiam, menganalisa satu sama lain. Mereka saling berputar dalam kuda-kuda, seperti banteng yang sedang mengincar jubah merah. Begitu mereka mendapatkan kesempatan, keduanya pun melesat

Sang gadis menyerang pundak kiri lawan, yang sama sekali tak memegang pedang. Terkecoh karena serangannya, lawannya pun berusaha untuk menghindar. Tetapi di saat bersamaan, gadis itu mengayunkan pedangnya kembali ke arah samping, mengincar kepala. Namun...

Matanya terbelalak ketika mendengar lentingan logam begitu keras dan tangannya terhempas begitu cepat, membuat pedangnya terangkat tinggi. Tidak mungkin ... ia bisa menangkis serangan tiba-tibanya itu!? Gadis itu hanya bisa terperangah, sebelum tiba-tiba lawannya segera melesat mendekat.

Tidak ... ia terlihat begitu lengah! Dada dan perutnya terbuka lebar, dan tangannya nampak kelelahan untuk segera menarik pedangnya kembali. Apalagi mustahil untuk segera menangkis serangan yang sudah sangat dekat.

Ia pun menutup matanya, merasa bulu kuduknya berdiri. Tak lama, perutnya terasa seperti tersengat ribuan lebah, kepalanya pun merasa pusing. Sang gadis terjatuh ke tanah, berbaring dengan napas yang terengah-engah.

Sang lawan memukul gadis itu menggunakan pegangan pedang, bersamaan dengan kepalan tangannya. Ah tentu saja ... lawannya itu hanya bermain-main dengannya, tidak ada serangan mematikan yang dicanangkan kepadanya, itu karena mereka hanya latihan.

Gadis itu tersenyum puas.

"Cukup!" Sang lawan berteriak sambil mengangkat tangannya.

Tentu saja, ia tak bisa berkutik melawan seorang pria dewasa, bukan? Ia hanyalah seorang gadis kecil yang lemah, memegang sebuah pedang sungguhan seperti sosok boneka. Kini, ia hanya bisa melepaskan genggamannya, merasa semua telah berakhir dengan kekalahan.

Legenda Armea: Meishia - Kengerian AstreaWhere stories live. Discover now