1. Sahabat Surga

368 20 1
                                    

Asshalaaatu wassalaamu 'allaiikk, ya imaamal mujaahidiin...

Lantunan merdu shalawat tarhim yang disetel masjid Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Anwarush Shalihin itu menjadi alarm para santri yang masih betah dengan bantal dan selimut mereka. Salawat itu selalu diputar setiap pukul tiga dini hari, dan hampir setiap hari. Sepuluh menit sebelum azan subuh, salawat itu berhenti, digantikan dengan murottal al-Qur'an atau salawat lain yang biasanya dikumandangkan oleh beberapa santri putra.

Seorang gadis terbangun, mendapati sahabatnya yang masih belum tersadar tepat di sampingnya. Sahabatnya itu terlihat mengejang kecil, jari jemari tangannya bergerak-gerak, keringat terlihat membasahi lehernya dan sebagian poni rambutnya. Polahnya itu tentu saja mengusik ketenangannya. Dengan diliputi rasa panik dan kebingungan, gadis itu terus menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya, seraya memanggil lirih namanya berulang kali.

"Han... Jihan bangun, Han," serunya lirih.

Hingga akhirnya, seseorang yang dipanggilnya Jihan itu berhasil membuka kedua matanya.

"Terima kasih, udah bangunin," ucap Jihan sembari bangkit dari rebahnya, lantas memakai jilbab kaosnya.

"Han, kamu mimpi apaan sih, tadi?" tanya Azkiya, gadis yang barusan membangunkan Jihan.

Azkiya menatap heran Jihan. Bisa-bisanya gadis itu terbangun seolah tidak ada apa-apa dan terlihat biasa saja. Padahal sebelumnya reaksi tubuhnya jelas seperti sedang mengalami mimpi buruk.

"Ngga ada," jawab Jihan singkat, sembari melipat rapi selimutnya yang bergambar kartun Doraemon.

"Masa? Kamu barusan ngga di siksa di alam mimpi kan?"

"Astaghfirullah, sanjang opo toh, pean iki?"

Azkiya terkekeh pelan. Dalam benaknya selalu dipenuhi tanda tanya tentang apa yang dipirkirkan oleh gadis itu, sampai membuatnya terus bertingkah aneh saat bangun tidur. Persis telah mengalami mimpi yang buruk. Tidak hanya sekali, terkadang dan tidak sering. Tetapi, Jihan tidak pernah menceritakan apapun mengenai apa yang terjadi. Azkiya berusaha memaklumi, bukankah mimpi buruk tidak boleh di ceritakan?

"Ayo turun," ajak Jihan.

° • ° • °

Udara dini hari itu sungguh dingin. Kesiur angin yang berhembus lembut turut melengkapi suasana yang masih gelap. Langit bersih bertabur bintang tanpa rembulan. Jihan merapatkan kedua tangannya bersembunyi di balik jilbab kaos lebarnya. Sesekali Jihan memainkan pucuk hidungnya yang juga terasa dingin. Bibirnya dibuat mengerucut agar bisa menyatu dengan pucuk hidung. Orang Jawa menyebut tingkah Jihan dengan istilah 'muncu-muncu'.

"Aku tadi mimpi apa, ya?" benak Jihan dalam hati.

Sepanjang jalan dari kamarnya di lantai dua hingga ke kulah di lantai satu, Jihan tidak hentinya berusaha mengingat apapun yang ia yakin pasti terekam dalam mimpinya. Tapi nihil, tidak ada bayangan sama sekali dalam ingatannya. Aneh jika tidak memimpikan sesuatu, tetapi berkucuran keringat yang masih membekas terserap di piyama tidurnya serta sebagian poni rambutnya.

"Keringetan gini, kata Azkiya-pun, aku sempat mengejang, aneh kalau tidak ada mimpi," gumamnya dalam hati.

"Inikah yang dinamakan amnesia mimpi?"

Semakin Jihan berusaha mengingat, semakin kesal pula dirinya, karena tidak ada sebersit gambaran sedikitpun.

"Ah, sudahlah!" Tampiknya dalam hati.

Jihan mengusir jauh-jauh pikiran yang membuatnya bingung. Semakin dipikir, semakin pusing dan membingungkan. Lebih baik Jihan membersihkan diri terlebih dahulu, ia tidak ingin kehabisan waktu sepertiga malamnya untuk bermunajat pada Sang Ilahi.

Pangeran NahwuWhere stories live. Discover now