Day 1: Voice

2K 109 18
                                    

Voice

[ soukoku, slight! platonic odazai, world war!au, mermaid!au ]

.

.

.

Berada di atas angin seharusnya membuat siapapun merasa kedinginan. Namun degan kendaraan yang mereka naiki, dingin itu tidak lagi bisa terasa. Panasnya pertempuran dan ekor berasap rudal datang silih berganti, membuat dua orang di belakang kemudi pesawat berkeringat hebat.

Gemerisik radio komando terdengar. Dazai dengan cepat menekan tombol untuk memperjelas suara, membiarkan pilot pesawat juga mendengarnya.

"Kepada Val 21. Arah pukul dua. Satu peluru kendali."

Pria di sebelah Dazai menarik tuas, mengarahkan rudal sesuai arahan komando pusat. Beberapa saat setelah peluncuran, suara ledakan menyeruak bersama partikel-partikel kapal perang di bawah mereka. Sang pilot kemudian melakukan manuver, memutar kemudi ke arah area yang lebih aman, menjauhi ledakan.

"Odasaku, kembali," ucap Dazai sembari mengamati serial peluru di udara. Mereka memutar lagi, berbalik ke posisi semula. Hampir saja serangan musuh mengenai badan pesawat.

"Kepada Val 21. Jatuhkan muatan."

Odasaku menekan tombol, membuat celah di bawah pesawat terbuka perlahan. Dazai masih melanjutkan pengawasan, menengok ke bawah. Manik cokelatnya terbelalak ketika menemukan peluru kapal musuh terarah ke atas.

"Odasaku, tutup pintu muatan," ucap Dazai panik. Apabila peluru mengarah pada muatan, maka pesawat mereka akan meledak di udara. Lebih baik jika mereka berputar untuk menghindari peluru musuh dibanding mencari mati.

"Dazai, patuhi komando," balas rekan sejawatnya itu tanpa menunda penurunan muatan.

Samar-samar sang pengamat mendengar suara lontaran peluru. Asap rudal menyelimuti kaca pelindung mata, membuat pandangan keduanya buram.

"Hentikan," cegah Dazai seraya mengambil alih kemudi.

Namun Odasaku menahan. "Jika kau takut mati, terjunlah," ucap sang pilot dingin, tetap melepas muatan bom dari dalam bagasi.

"Kau tidak takut? Bagaimana dengan anak-anak asuhmu di Minami?" Dazai menatap rekannya itu ragu.

"Hidup seorang tentara berada di tangan negaranya," sahut pria itu seraya melepaskan kait sabuk di badan Dazai, "jika kau masih ingin bertahan, maka terjunlah."

"Odasaku, terjunlah bersamaku," Dazai memanggil panik, "masih belum terlambat."

Ia mengarahkan tangan pada sabuk sang pilot, hendak melepaskan kait sabuknya juga. Namun pria itu menahan. "Aku perlu memastikan kapal di bawah kita hancur dan tenggelam."

Di antara asap yang menyebari di udara, Dazai menemukan sekilas senyum.

"Kalau kau selamat nanti--," jeda sejenak ketika pria itu mendorong Dazai hingga tergantung di pinggiran pesawat.

Kata-kata terakhir Odasaku bergeming di telinga Dazai seiring lelaki itu jatuh dari ketinggian udara.

"--jagalah anak-anak asuhku."

.

.

.

Air laut terasa amat pekat, membuat ingatan Dazai semakin samar. Suara tembakan peluru dan panas api di medan perang semakin lama semakin jauh. Pemuda brunette masih memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam semakin dalam.

[√] BSD Angst Week 2020Where stories live. Discover now