Chapter 22 (Undangan)

3K 262 15
                                    

Ah, udah berapa lama nih gak up?

Maaf, kalo baru up. Ada urusan di real life.

Sambil merefreshkan otakku juga, sih.

Selamat membaca!

__________

Sudah ke 20 kali Mas Daiyan bertanya kapan tamunya pergi. Nggak sabaran banget sih, Mas! Hihi.

Tepat hari ke-7. Pas, prasangkaku selalu tepat sasaran. Hari ke-7 tamunya sudah pergi tanpa diminta. Eum ... apa aku kerjain aja, ya Mas Daiyan-nya? Sepertinya ide yang bagus.

Waktu Mas Daiyan nanti menanyakan mengenai tamu lagi, akan aku jawab kalau tamunya masih belum pergi. Penasaran, gimana, ya ekspresinya nanti?

Aku memang berniat bersuci saat Mas Daiyan sudah berangkat kerja. Pastinya, ia takkan tahu kalau aku, sudah bersuci. Sekali-kali ngerjain Mas Daiyan. Biasanya kan Mas Daiyan terus.

Bukan maksud untuk balas dendam. Iseng belaka. Saat ku dapati ekspresi menggemaskannya itu keluar, aku akan langsung jujur. Pasti bakalan seru!

Sayup-sayup ku dengar suara Mas Daiyan memanggilku dari arah ruang tamu. Kegiatan di dapurku, ku sudahi sebentar.

“Iya, Mas?” jawabku saat sudah berada di ruang tamu. Jarak dapur ke ruang tamu tak begitu jauh. Jadi, bisa mendengar suara siapa saja yang memanggil. Suara manusia pastinya, ya. Kadang aku suka parno kalau dengar suara seseorang tetapi saat dihampiri orangnya tidak ada.

“Mas mau berangkat nih. Sun dulu.” Rutinitas suami-istri ini.

Kaki berjinjit agar bibir ini sampai di pipi kiri Mas Daiyan. Usaha ku nihil. Meskipun dengan berjinjit tak sampai juga di sana. Ku lihat Mas Daiyan malah terkekeh. Tak bergerak sama sekali. Nggak adil ‘kan?

“Mas ....,” tegurku. Bagaimana mau sampai di pipinya, kalau dia saja tidak mencondongkan badannya.

“Makanya, Dek. Tumbuh tuh ke atas.” Ngeselin emang.

“Gitu, ya? Gak mau sun deh.” Rasain kamu, Mas!

Ku lipat kedua tanganku di depan dada. Ku lirik sekilas raut Mas Daiyan berubah cemas. Hihi, rasain pokoknya mah.

Tangan Mas Daiyan bertengger di kedua pundakku. “Hehe, Mas barusan bercanda, Sayang. Jangan marah, ya? Sun dong! Boleh, ya? Mau, ya? Pliiis ....” Aku masih pura-pura marah.

Kedua telapak tangan Mas Daiyan menangkup kedua pipiku sambil mengarahkan wajahku ke wajahnya. Otomatis ia pun harus sedikit membungkuk.

“Mas minta maaf, ya?” Aku masih enggan menatapnya. Agar aksiku lancar mengerjai Mas Daiyan.

“Tatap mata, Mas. Mas nggak bakal ngulangin itu lagi deh. Kamu tinggi kok, kamu dah tinggi. Beneran.” Rasanya aku ingin tertawa melihat tingkahnya yang berusaha membujukku.

“Kamu nggak jadi pendek.” Mas Daiyan kemudian mensejajarkan tinggiku. Ih, gemas!

Tanpa aba-aba aku langsung menghambur, memeluknya.

“Adek juga bercanda kok marahnya.” Mas Daiyan membalas pelukanku gemas. Ku dengar seperti helaan napas lega dari Mas Daiyan.

Kemudian, Mas Daiyan mengacak gemas hijab yang ku kenakan. “Udah berani jailin suami, ya ....” Aku hanya membalas dengan kekehan setelah kami sudahi kegiatan berpelukan.

Aku mengantar Mas Daiyan sampai depan pintu rumah. Mobilnya, sudah ia siapkan pas di halaman rumah.

“Hati-hati, ya, Mas.” Aku mencium punggung tangan kanannya.

Suami Idiotku [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang