#01

53 2 0
                                    

Wattpad_Trailer_Sunyi

**

Menjadi tulang punggung keluarga merupakan hal yang sulit, namun agaknya bagi wanita 23 tahun ini, hal tersebut sangatlah menyenangkan. Dia benar-benar menyukai saat melihat sang mama tersenyum hangat menatap kepulangannya, juga sang adik yang senang hati menemaninya di kamar setelah lelah seharian dirinya bekerja.

Ya.. seandainya seperti itu, namun nyatanya itu hanyalah angan-angan belaka.

Sila, wanita 23 tahun itu merupakan tulang punggung keluarga semenjak sang papa pergi meninggalkan keluarga kecilnya demi wanita lain. Kala itu, Sila kecil tidak mengerti mengapa sang papa mengemasi barang-barangnya dengan ekspresi wajah yang sangat berantakan. Seperti marah, kecewa, dan sesuatu yang tidak dapat dijabarkan oleh anak berumur 10 tahun.

13 tahun yang lalu sang papa pergi meninggalkan rumah, semenjak itu pula keadaan rumah semakin mencekam. Sang mama yang sudah mendapat gelar sebagai janda sering kali pulang larut hanya sekedar untuk mabuk-mabukan dan berakhir marah-marah tidak jelas kepada Sila dan adiknya, Mia.

Sedari kecil pula—terutama Mia yang kala itu berusia delapan tahun—seakan harus dibiasakan dengan kelakuan sang mama yang selalu marah-marah juga bermain tangan.

Sila dan Mia tidak nakal, namun selalu mendapat tamparan.

Sila dan Mia selalu mematuhi perintah sang mama, seperti misalnya membuatkan sarapan, bersih-bersih rumah dan memijat sang mama, namun tetap saja keduanya mendapat tamparan, sesekali hempasan kuat hingga membuat keduanya tersungkur—bahkan pernah, Mia harus mendapatkan luka di kening saat dirinya terjatuh dan tidak sengaja kepalanya terantuk ujung meja yang cukup tajam, membuat luka sayatan cukup panjang nan dalam.

Sila tidak paham mengapa kedua orang tuanya berpisah. Sila kira, sang papa hanya akan berkunjung ke rumah nenek untuk sementara waktu, namun ternyata hari itu merupakan hari terakhir bagi Sila berjumpa dengan sang papa. Salam perpisahan papanya hanyalah sebuah pelukan singkat serta kecupan hangat di kening. Jikalau saja Sila tahu itu hari terakhir keduanya bertemu, Sila pasti akan melarang keras kepergian papanya tersebut.

Luka batin dan fisik dialami keduanya—Sila dan Mia. Namun, seiring bertambahnya usia, Mia yang memang sangat mudah bersosialisasi mulai terpengaruh oleh dunia luar. Mia berubah. Jika sang mama membentaknya, maka anak itu akan balik membentak. Saat tamparan mendarat di pipi, maka tak segan-segan anak itu mendorong sang mama hingga tersungkur, bahkan umpatan-umpatan yang tak pantas kerap kali terlontar.

Mia membela diri dari kegilaan sang mama, namun yang Sila tahu pembelaannya itu berada di jalan yang salah. Seharusnya Mia tidak membentak balik atau berperilaku kasar kepada mamanya, karena bagaimanapun orang itu merupakan seseorang yang telah melahirkan, yang tak sepantasnya diperlakukan seperti itu.

Sila tahu Mia lelah jikalau hanya terus berdiam diri menerima segala perilaku sang mama, namun tidak seharusnya pula Mia membalas.

Mia yang mulai membangkang kepada sang mama, rupanya membangkang juga dengan dirinya—dengan Sila yang selalu berada di sisi anak itu.

Tepat saat Mia memasuki sekolah menengah pertama, anak itu mulai membangkang semua orang. Tidak lagi menurut, dan menjadi seenaknya saja.

Berangkat pagi, pulang malam hari, bahkan tak jarang hingga larut malam. Penampilannya pun semakin tidak karuan, seperti bukan Mia yang Sila kenal.

ˢᵘⁿʸⁱTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang