14. Nerveous

38.6K 4K 15
                                    

Aku terbangun saat mendengar dering alarm. Pukul empat pagi, aku segera beranjak menuju ke kamar mandi. Melaksanakan ritual mandi sebelum shubuh seperti pesan ibu. Ibu bilang, mandi sebelum shubuh dapat membuat awet muda. Sebenarnya aku tidak terlalu percaya, tapi mengingat ibu yang memberikan pesan, maka akan selalu aku patuhi.

Rutinitas pagiku selanjutnya adalah memasak dan membersihkan rumah. Aku harus sesegera mungkin menyelesaikannya sebelum Starla terbangun, karena saat ada Starla, aku akan focus menjaganya. Pergerakannya yang semakin aktif membuatku harus ekstra dan tidak menduakannya dengan apapun.

"Makanan siap!"

Aku berseru sendiri. Bagaimana tidak, hanya ada aku, Starla dan Pak Rafa di rumah ini. Starla masih tidur nyenyak sekarang. Selain tidak mau tidur siang, dia punya kebiasaan baru sekarang. Bangun kesiangan. Tapi itu lebih baik, jadi aku bisa menyelesaikan tugasku tanpa takut terganggu. Tapi Pak Rafa, kenapa belum turun sampai jam segini. Biasanya dia sudah siap pergi ke kampus.

Jam dinding menunjuk ke angka tujuh. Mungkin saja Pak Rafa tidak ada kelas hari ini. Dia selalu disiplin dan tidak pernah terlambat sekalipun. Berbeda denganku yang saat masih kuliah selalu datang sepuluh menit setelah pembelajaran dimulai. Lebih baik sekarang aku telpon Rena. Mumpung tidak ada Starla dan Pak Rafa.

Satu panggilan terlewat begitu saja. Sepertinya Rena sedang sibuk. Tapi dia kan belum bekerja. Mahasiswa akhir rasa pengangguran mana mungkin punya kesibukan. Aku coba sekali lagi. Pasti anak itu masih tidur.

Tut! Yap. Tersambung.

"Halo, Ren. Apa kabar lo?" Aku menjulurkan kakiku ke bawah. Menyandarkan kepalaku ke sandaran sofa.

"Kesambet apa lo? Tumben telfon."

"Ya elah. Galak amat ini temen. Mau nanya doang, kampus tercinta apa kabarnya. Pengen ngampus nih."

"Masih kayak dulu, nggak ada yang berubah. Pembantu mana boleh keluar-keluar," ejeknya diiringi tawa. Jika sedang berada di dekatku, akan aku jitak kepalanya.

"Diem lo."

"Eh, Lin. Gue kemaren ketemu Sandi. Dia nanyain lo tuh." Ada nada tidak suka saat mengatakannya. Rena memang orang pertama yang menentang hubunganku dengan Sandi. Dia bilang laki-laki model Sandi itu terlalu pasaran dan amat playboy.

"Trus?"

"Gue jawab aja nggak tahu. Dia juga bilang kalo lo udah punya calon suami, tapi gue nggak percaya sih. Pasti lo narik orang di jalankan trus lo suruh sandiwara. Gue bener nggak?"

"Kok lo pinter sih. Itu majikan gue, Ren."

Sampai sekarang Rena memang belum tahu kalau aku bekerja dengan Pak Rafa. Untuk saat ini aku tidak ingin dulu mengatakannya. Meski teman baikku, Rena kadang suka keceplosan. Mulutnya itu bisa tiba-tiba ember kalau sudah asyik bercerita. Aku tidak mau ada rumor buruk yang akan muncul jika ada orang lain yang tahu tentangku dan pak Rafa.

"Om-om dong. Si Sandi emang bego. Iya kali lo mau sama om-om. Ya udah, Lin. Gue lagi bantu nyokap masak nih. Katanya nyokap nggak bakal kasih ijin gue kerja di kantor papa kalo gue belom bisa ngapa-ngapain. Bye, Lin."

Rena menutup panggilan tanpa menunggu persetujuanku. Membuatku hanya bisa menghela nafas panjang. Aku melihat chat grup yang semakin menumpuk. Tapi tidak satupun yang aku balas. Obrolan yang sudah terlalu panjang dan banyak membuatku tidak ingin ikut campur meski tidak ada bahasan yang penting disini. Sebelum aku menutup ponsel, mataku menangkap sebuah chat dari seseorang yang tinggal seatap denganku.

Pak Rafa

Bawakan air putih ke kamar saya.

Berarti benar Pak Rafa tidak ada kuliah pagi. Buktinya dia tidak turun dan malah minta diambilkan air minum. Sekalian saja aku bawakan sarapan, siapa tahu bapak dosen yang terhormat itu berkenan memberikan gaji tambahan nanti. Dasar tamak.

MAMA MUDA(COMPLETE)Where stories live. Discover now