Bagian 11

66 8 0
                                    

Jika Laila memiliki tempat tujuan untuk menyembunyikan diri, dia akan memilih opsi untuk segera kabur dari tempatnya berdiri saat ini dan pergi ke tempat itu. Tetapi sosok Alan di bawah cahaya redup keemasan lampu konter dapur adalah suatu hal yang tak bisa dilewatkan.

Bagaimana bisa logikanya hilang entah ke mana, hanya karena memandang postur laki-laki itu, fitur tampak samping dari sisi wajahnya, dengan tulang hidung tinggi, bibir tipis merah muda ‒karena Alan bukanlah seorang perokok‒ yang terkatup, bayangan rambutnya yang sedikit acak-acakan ditimpa pendar cahaya keemasan, memberikan kesan seksi dan liar di saat bersamaan.

Damn it!

Laila menurunkan pandangan sekedar untuk mengalihkan pikiran dari keterpanaan. Sayang, nampaknya malam ini Tuhan sedang ingin bermain dengannya. Pandangan matanya yang turun itu justru memerangkapnya melihat dada bidang yang mengintip dari balik kemeja yang kancingnya terlepas tiga buah. Tamat riwayatmu Laila!

Semakin menurunkan pandangan, matanya justru menghianati dirinya, Karena bagaimana bisa lengan kemeja yang digulung hingga batas siku pun mencuri perhatian matanya begitu rupa memaksa untuk terus memandang. Otot-otot di lehernya membuat gerakan meneguk. Alarm tanda bahaya dalam otaknya berdering.

Dasar mata cabul! Berhenti melihatnya seolah dia makanan lezat! Bentak Laila dalam hatinya. Otaknya memerintahkan kedua kelopak mata kurang ajar itu terpejam. Agar, bisa menutupi pemandangan yang tersuguh.

Ayolah, nggak usah munafik! Itu adalah barang bagus yang nggak bisa kamu lewatkan gitu aja. Sisi dirinya yang lain masih mencoba merayu agar matanya kembali terbuka. Membuat Laila semakin erat memejamkan mata.

"Laila," kata Alan, suaranya terdengar begitu dekat, "buka matamu."

Seperti mendengar perintah yang sangat magis, menyusup dalam dirinya, memaksa dirinya untuk... patuh. Laila membuka mata. Pandangan matanya sejenak kabur, beberapa detik kemudian kelopak matanya mengejap. Alan sudah berdiri di depannya, hanya berjarak dua jengkal darinya.

Membuatnya dapat melihat dengan lebih jelas dada di balik tiga kancing kemeja yang terlepas dan terbuka berada di hadapannya. Detail-detail tulang selangka hingga otot dada yang sebelumnya tak terlihat. Kini terpampang begitu dekat dan nyata sehingga bisa ia teliti dengan seksama. Seolah Tuhan sedang pamer kepadanya, lihatlah salah satu ciptaan-Ku yang Kucipta saat Aku sangat bahagia.

"Kenapa Laila?" tanya Alan lagi.

Sial sekali rasanya, Laila tak pernah merasa terperangkap dan kebingungan dalam mengambil sikap seperti saat ini.

"Gue...." Laila kesulitan mengucapkan kata. Sungguh dia ingin tenggelam saja ke dalam bumi.

"Dari mana?" tanya Alan, kali ini dengan suara yang jauh lebih lembut, tapi tetap menekankan rasa dingin yang begitu hebat ke dalam diri Laila. Meski amarah menggelegak dalam dadanya.

Laila menarik napas dalam-dalam, dan menghelanya perlahan sebelum menjawab, "habis makan."

Pandangan matanya beralih dari dada Alan ke mata laki-laki itu, yang kini tengah menatapnya tajam. Laila menelan salivanya, lagi.

"Dengan siapa?" kali ini nada suara lebih dingin dari sebelumnya. Sungguh Alan masih tidak mengerti, mengapa dia harus bereaksi sebegini keras, menuntut jawaban Laila

"Apa gue harus jawab?" Laila berusaha menantang tatapan mata Alan.

Sementara laki-laki itu menelengkan kepalanya ke kanan. "Tentu saja. Apa lo pergi dengan dia, lagi?"

"Iya," jawab Laila. Dia tahu siapa yang Alan maksud. Meski dia tidak yakin dari mana Alan tahu dia pergi dengan Andi. Atau ketika Laila melihat Alan di rumah makan sop iga, Alan juga melihatnya. Entahlah.

SUPERNOVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang