Ask and Answer

5K 708 135
                                    

Akhirnya kubiarkan Andra mengantar Clara, sementara aku menyetir BMW i3 metalikku sendiri ke kantor. Melewati jalanan Jakarta yang sudah padat, bahkan sebelum jam tujuh pagi. Membiarkan lantunan Top of the World dari Imagine Dragon, mengentak melalui audio mobil.

Sudahlah, aku sudah sangat masa bodo dengan asumsi-asumsi di benak mengenai Andra. Dia mencintaiku, dan itu sudah cukup. Seharusnya aku tidak perlu peduli dengan apa-apa yang tidak mau dia share bersamaku.

Bukan karena aku tidak penting. Tapi karena buat Andra, tugasku hanya untuk menjadi bahagia.

Astaga! Mengingat bagaimana dia mengucapkan kata itu saja, sudah membuatku senang bukan kepalang. Cinderella, sepertinya sudah berada pada dekapan pangeran yang tepat.

Ponsel tiba-tiba berdering. Layar sentuh yang terhubung dengan ponsel pada dashboard, menunjukkan nama Andra di sana. Cepat kumatikan suara audio, dan menyentuh layar untuk menjawab panggilan.

"Ya, Sayang?" sahutku.

"Aku baru aja selesai antar Clara ke sekolah, dan kayaknya aku harus bicara sama Lia." Andra menyahut tanpa basa-basi.

"Kenapa?" Suaraku masih biasa-biasa saja. Namun, ketika menyadari kalau bisa saja ini tentang Andika yang menginap di rumah Lia, hatiku jadi nelangsa. Apa dia harus ikut campur juga masalah ini? "Karena Andika menginap di rumah Lia?" tebakku dengan suara yang sepertinya terdengar mencicit.

"He'em ...."

Oke, rasanya benar-benar sakit sekarang. 

"Kamu ... cemburu?" Aku benar-benar menahan diri ketika melontarkan pertanyaan ini.

"Enggak! Ngapain aku cemburu?"

"Lantas?" Keningku berkerut, seraya menginjak pedal rem karena mobil di depanku berhenti mendadak.

"Aku yang meminta Andika menginap agar bisa memantau keadaan Lia ...."

Eh?

"Tapi sekamar saat ada Clara, itu agak keterlaluan." Andra menghela napas. 

Ada sedikit rasa lega, tapi tetap saja aku merasa Andra tidak perlu mencampuri urusan Lia dan Andika. Namun, keberadaan Clara memang tidak bisa diabaikan. Sementara aku, dalam posisi serba salah.

"Bagaimana menurut kamu, Vin?" 

Kupejamkan mata, menarik napas dan mengulang-ulang dalam hati kalau ini hanya karena ada Clara. Ada Clara yang harus dipikirkan. Aku yang saat ini juga merupakan ibunya, tidak boleh menjadi egois.

"Oke. Silakan aja, Ndra. Demi Clara ...." Perlahan kubuka mata, bersamaan dengan hiruk pikuk manusia di luar sana. Manusia yang tiba-tiba mengerubungi mobil di hadapan yang berhenti mendadak tadi. 

Ini terlalu ramai. Aku benci sesuatu yang terlihat ramai dan padat, membuatku merasa sesak. Cepat kuturunkan kaca jendela, dan bertanya pada seseorang yang lewat.

"Ada apa, Mas?!" seruku.

Seorang pria yang kebetulan berada tak jauh dari mobil menjawab, "Tabrak lari, Mbak!"

Tiba-tiba rasa mual menjalar. Keramaian dan tabrak lari. Sempurna, hidupku sempurna. Kepala yang terasa pening, dan suara-suara menahan muntah yang keluar dari bibir jelas bukan sesuatu yang menyenangkan.

"Are you ok, Vin? Aku dengar tadi ada tabrak lari. Kamu baik-baik aja?"

"A-Andra ...." Ah, sial! Bahkan aku tidak lagi sanggup berkata-kata. Untuk berpikir pun rasanya benar-benar sulit. 

Aku hanya mendengar suara Andra yang terdengar panik di seberang telepon, serta lalu-lalang manusia yang tidak habis-habis melewati mobilku. Wajah-wajah itu terlihat tegang, panik, kasihan, ketakutan. Setelahnya ... gelap.

DOUBLE DATE - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang