Cah Ayu

33 4 0
                                    

"Assalamualaikum", ucap salamku di telpon.

Di ujung telpon menjawab, "Waalaikumsalam".

Itu bundanya Widodari.

"Selamat malam bu, Arinya ada?, tanyaku.

"Dengan siapa ini?", Ibunya Ari balas bertanya.

"Micka bu", jawabku.

"Oh mas Micka, tunggu sebentar ya ibu panggilkan. Ari!, rii!, nduk.., ada telpon dari Micka nduk". Terdengar ibunda memanggil Ari dengan sebutan khas Jawa Tengah "nduk". Nduk adalah panggilan kepada anak gadis kesayangan dalam bahasa Jawa.

Tidak lama kemudian terdengar suara halus Ari menyapa, "Halo".

"Halo nduk, kamu sedang apa?", kataku menggoda.

"Hehehe. Nggak ngapa-ngapain, di kamar aja nonton tivi", jawab Ari.

"Aku ganggu nggak?", tanyaku.

"Enggak", jawab Ari lagi.

"Jangan kebanyakan nonton tivi, apalagi nonton sinetron. Mendingan baca buku", kataku.

"Emoh ah, aku lagi males baca", kata Ari.

"Ihh kamu nduk, harus rajin belajar biar besok gede jadi bu hakim yang galak sama koruptor. Hehehe", candaku.

"Hihihi. Kamu sendiri nggak belajar, malah nelpon aku", kata Ari.

"Justru aku tadi tuh lagi baca buku, tapi konsentrasiku buyar", terangku.

"Kok bisa?", tanya Ari.

"Beneran. Aku lagi baca buku "Sukarno, Penyambung Lidah Rakyat" tapi masa liat fotonya Bung Karno mukanya berubah jadi kamu, tapi pake peci. Terus baca kalimat kaum Marhaen malah kebacanya kaum "Widodaren": kaum pengagum Widodari, jawabku sambil terkekeh.

Di sana Ari jadi tertawa dengan candaanku itu.

"Yahh cuma pengagum doang....", lanjut Ari.

Kalimat Ari itu langsung membuat aku terdiam.

#o#

Tidak tahu perlu waktu sampai kapan untuk mengobati luka hatiku karena tersakiti oleh yang namanya cinta. Aku merasa selalu kalah dalam bercinta, padahal bagiku sekali mencinta maka pilihanku itu akan menjadi permaisuri yang bertahta dengan anggun di singgasana dalam hati.

Suatu waktu di senja hari setelah cintaku dikandaskan begitu saja oleh Chika, ketika itu cahaya matahari mulai redup tertimpa awan biru gelap di atasnya, hingga tinggal menyisakan segaris kemilau keemasan di ufuk barat. Di atas atap genting rumah, aku merenung, adakah seseorang di sana seperti diriku saat itu yang sedang memikirkan belahan jiwanya yang entah siapa dan dimana, menunggu semesta suatu saat mempertemukan kami?.

Kemudian nuraniku seperti berbisik menyampaikan sesuatu, "dia yang kamu rindukan ada di tempat nun jauh disana. Percayalah, jika jodoh takkan kemana". Aku menarik nafas panjang. Aku kemudian menulis sesuatu dalam catatan harian. Sebuah puisi.

"Bunga Kaktus"

Tuhan, kenapa Kau jadikan aku seorang pecinta, sehingga aku begitu mencintai dia.

Apakah ini perasaan selintas ataukah aku yang terlalu mudah jatuh cinta?, aku tak tahu.

Logikaku menolak, namun hatiku berontak.

Lalu manakah yang setan dan manakah yang malaikat?

manakah "ying" dan manakah "yang"?

KELAS 98, Cinta & ReformasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang