EMPAT BELAS

3.4K 481 6
                                    

"Siapakah orang itu?" tanya Rukiman.

"Namanya, Yudi, Tuan."

"Oh, Yudi?" ujar Rukiman, wanita itu mengangguk. Rukiman pun tersenyum.

"Benar Tuan, Nyonya, kata Bang Yudi di sini mungkin membutuhkan pekerja karena kedai yang begitu ramai. Saya menyaksikannya sendiri tadi, kedai Tuan dan Nyonya benar-benar ramai. Oleh karena itu, saya menghambakan diri untuk meminta belas kasih agar kiranya Tuan dan Nyonya ridha menerima saya menjadi pekerja di sini."

"Ya, baiklah. Yudi sendiri adalah pekerja setia kami, tentu dia tahu apa yang kami butuhkan," ujar Rukiman.

"Bagaimana, Dik?" bisik Rukiman. Nursam hanya mengangguk-ngangguk.

"Pekerjaan apa saja yang bisa kau kerjakan?" tanya Nursam.

"Apa saja Nyonya, masak, nyuci, menyapu, apapun saya kerjakan bahkan lebih dari itu, Nyonya."

"Mampukah kau juga membuka dan menutup kedai?"

"Mampu, Nyonya."

"Baiklah, bekerjalah mulai sekarang. Tapi berapakah gaji yang kau inginkan?"

"Tidak digaji pun tidak mengapa, Nyonya, asalkan terisi perut saya, tidak kehujanan. Dapat bekerja di sini saja sudah sangatlah besar terima kasih dan syukur saya kepada pertolongan Nyonya dan Tuan."

"Berterima kasihlah kepada Tuhan, Mbak. Kami ini hanya membantu," kata Rukiman.

"Baiklah Mbak, mulai sekarang bekerja dan tinggallah bersama kami. Istriku akan menunjukkan kamar untukmu." Rukiman menoleh ke Nursam lalu beranjak pergi ke kamar.

Nursam membawa Yati ke belakang. Ada kamar kosong sebelah dapur. Sebelumnya kamar itu dijadikan gudang penyimpanan beras. Kini telah berubah menjadi kamar untuk Yati. Sementara stok beras ditumpuk di dapur di mana ada tempat tersisa sebelum selesai gudang yang sedang dibuat.

***

Sejak ada Yati sebagai pekerja baru, bertambah maju kedai Rukiman. Nursam juga mulai sedikit berseri wajahnya karena sudah ada teman bicara setiap hari. Ia tak meminta pindah lagi.

Yati juga memberinya semangat untuk berobat ke dokter kandungan untuk memeriksa apakah benar ia tidak bisa hamil lagi?

Setelah periksa ternyata harapan masih ada.

"Benar, kan, Nyoya. Saya sudah bilang apa, Nyonya dan Tuan tidak ada masalah apa-apa, kalian tampak sehat saja."

"Iya, Yati, kau benar? Tabib itu sungguh tidak bisa dipercaya."

Yati menunjukkan kesungguhan dan keuletan dalam bekerja. Bahkan setelah berjalan tiga bulan, ia diberi kepercayaan turut menjaga kedai bersama Yudi. Sehingga Rukiman dan Nursam dapat mengambil banyak istirahat karena kedai sudah dikelola apalagi pekerjaan rumah tangga semua beres dikerjakan Yati.

Suatu hari, Nursam mengajak Rukiman untuk kembali ke Gandang. Ia teramat rindu dengan kedua orang tuanya, namun Rukiman tidak setuju. Nursam sangat bersedih hati. Rupanya kesedihan itu takdapat ia pendam sendiri, berceritalah ia kepada dua pekerjanya di kedai. Ketika suaminya datang, ia pun beranjak pergi masuk ke dalam rumah. Terlihat sekali tingkah Nursam yang merajuk kepada suaminya.

"Maaf Tuan, mengapa Tuan tidak turuti keinginan Nyonya?" tanya Yudi membuka percakapan. Rukiman mendecap. Ingin dikatakannya dengan jujur bagaimana silsilah rumah tangganya dan hubungannya dengan mertuanya di Gandang, namun ia sedikit tidak enak hati.

"Nyonya sepertinya sangat sedih. Saya mengerti bagaimana rindunya jika bertahun-tahun tidak bertemu orang tua, sebab saya pun juga punya orang tua yang terpisah jauh dengan saya. Saya yang pulang setiap enam bulan sekali saja, kadang tidak sanggup menahan kerinduan, apalagi Nyonya, lima tahun."

Rukiman hanya tersenyum sinis. Dalam hatinya, bukan cuma lima tahun yang harus dirasakan Nursam, sepantasnya seumur hidup jika bisa, begitulah juga rasanya kerinduan Rukiman kepada mendiang bapaknya.

Jika berbicara tentang orang tua dan kerinduan timbullah kebencian di dalam hatinya. Ia pasti teringat tragedi kematian bapaknya. Namun, ada satu perkataan yang membuatnya luluh.

"Saya yatim dari kecil. Saya tidak tahu bagaimana rasanya pertemuan dengan orang tua, terkadang saya iri melihat orang-orang yang masih punya orang tua," kata Yati. Rukiman cepat menoleh kepada wanita pekerjanya itu. Rupanya masih ada yang senasib dengannya bahkan lebih darinya.

"Namun, walau begitu, saya tidak setuju, jika ada orang yang masih punya orang tua tapi tidak mengunjungi. Sangat disayangkan." Yati geleng-geleng.

"Aih, maaf jika saya lancang dan salah berkata, Tuan," ujarnya lagi.

"Tidak, kamu tidak salah. Yudi juga. Kalian benar. Tapi..." Rukiman terdiam sejenak.

"Jika istri saya mau pulang dengan sendiri maka saya mengizinkan."

"Benarkah, Tuan?" Yati semringah. Begitu pun Yudi. Mereka bahagia karena akhirnya hati keras sang majikan luluh.

Lekas Yati naik ke rumah majikannya mengabarkan berita baik itu. Nursam hampir tak percaya, ia berlari ke kedai.

"Benarkah Abang mengizinkan Dik pulang tapi kenapa Abang tidak turut?"

"Maaf Dik, banyak pekerjaan yang harus Abang selesaikan. Minggu ini Abang ada pertemuan dengan kongsi bisnis kita di kota."

"Dik enggak mau pulang sendirian, Bang. Dik enggak berani."

"Kalau begitu ditemani sama Yudi, bukan begitu Yudi?"

"Siap, Tuan!"

Awal kata ke ujung kata, hati ke hati dapat melerai benang perdebatan, akhirnya jatuhlah keputusan akhir, Nursam berangkat ditemani Yudi naik kapal.

Bersambung...

KARINDANGAN Donde viven las historias. Descúbrelo ahora