TIGA PULUH DUA

3.2K 478 19
                                    

Usman ke samping rumah sebelah kanan, dan neneknya ke samping sebelah kiri. Tak jauh kemudian, Usman mendengar rintihan seorang wanita di atas kepalanya, ia pun menengadah.

"Astaghfirullahaladzim!" ternyata Nursam gantung diri di pohon samping rumah itu. Lekas Usman ke atas pohon itu dan menyelamatkan Nursam.

Neneknya yang mendengar Usman heboh, berlari menyusulnya. Betapa syoknya ia melihat keadaan itu. Neneknya pun membantu Usman menurunkan Nursam.

Usman memeriksa denyut nadi Nursam, beruntung masih hidup. Mereka membopong tubuh Nursam ke dalam. Neneknya mengoleskan minyak kayu putih di telapak kaki, sementara Usman memberikan tekanan di dada Nursam.

Berselang lama kemudian, sadarlah Nursam. Bukannya bersyukur masih selamat, ia malah menjerit hendak mati saja.

"Untuk apa aku hidup? Cobaan ini begitu berat untukku, karena dosa-dosaku begitu besar."

"Mbak, nyebut. Dalam hadist riwayat bukhari dan muslim mengatakan, 'tidaklah suatu kegalauan, kesedihan, kebimbangan, kekalutan yang menimpa seseorang mukmin atau bahkan tertusuk duri sekalipun, melainkan karenanya Allah akan menggugurkan dosa-dosanya' jadi, Mbak, apapun sekarang keadaan Mbak, masalah berat ini adalah karena justru Allah hendak menggugurkan dosa-dosanya Mbak.

Mbak, percayalah padaku, sebentar lagi Mbak pasti lulus dari cobaan ini. Satu jam lagi, kita akan keluar dari daerah ini."

Nursam mengangguk terharu lalu memeluk Usman. Usman takdapat berkata apapun. Maklumlah, ia pria yang sangat menjaga dirinya. Ia belum pernah berpelukan dengan wanita bukan muhrimnya.

Ia hendak melepaskan pelukan itu, kasihan Nursam yang sedang bersedih. Neneknya yang mengerti itu lekas menarik tubuh Nursam untuk mengajaknya makan terlebih dahulu.

***

Azan berkumandang, kapal kayu yang disewa Usman sudah berada dekat rumahnya. Saat itulah waktu yang tepat, Mahmud dan anak buahnya yang terus memantau di pelabuhan besar berhenti dan mencari tempat istirahat. Ada kedai tak jauh dari pelabuhan.

Dengan kecepatan penuh kapal kayu itu melewati pelabuhan besar. Posisi kapal itu datang dari hulu menuju ke hilir muara, sedang pelabuhan ada di tengah-tengah. Usman harus dapat melewati pelabuhan itu tanpa meninggalkan jejak.

Dengan rasa gugup dan penuh harap, akhirnya kapal mereka melewati pelabuhan itu. Untungnya, Mahmud dan anak buahnya sedang lengah sehingga kapal itu dapat lewat tanpa kendala.

Kini mereka sudah sampai muara dan siap menempur ombak di lautan.

Nursam duduk termenung di dalam kapal. Sementara Usman mengambil air wudhu untuk melaksanakan salat magrib yang waktunya masih tersisa.

"Mbak mau salat?" tanyanya saat melewati Nursam yang duduk. Wanita itu geleng-geleng. Wajahnya tampak pucat. Usman pun pergi ke belakang kapal untuk berwudhu.

Nursam pergi ke haluan karena tak nyaman melihat Usman sedang salat. Ia merasa gerah.

Di haluan ia kembali duduk termenung sembari menikmati senja di lautan. Kira-kira memasuki bakda isya dan mereka sudah berada di tengah-tengah laut. Kapal mereka menuju ke kanan, yaitu Kampung Ulin. Tiba-tiba dari arah kiri yaitu datang dari muara sungai Kampung Gandang sebuah speed boat berwarna merah menuju ke arah kapal mereka.

Nursam yang berada di haluan, melihat itu ketakutan, kalau-kalau speed boat itu milik Mahmud dan kawan-kawan. Dan ia melihat lagi di arah kanan, datang dari muara sungai Kampung Ulin sebuah berwarna putih mendekat ke kapal mereka.

Usman yang baru saja selesai salat isya pun menghampiri Nursam ke haluan. Nursam menunjuk kedua speed boat itu.

"Astaghfirullahaladzim, kita dikepung." Usman menarik lengan Nursam dan membawanya ke bawah kapal untuk bersembunyi.

Ia memberitahukan kepada nahkoda kapal itu untuk berbalik arah. Namun, sayang, baru saja berputar, speed boat berwarna merah lebih dulu merapat ke kapal itu. Yanto dan keempat anak buahnya naik.

"Serahkan Nursam kepada kami!" kata Yanto.

"Siapa Nursam? Tidak ada siapapun di sini, kecuali saya dan nahkoda."

"Jangan berbohong, kami melihatnya tadi dia berdiri di haluan. Kalian cepat geledah kapal ini."

"Hei, hentikan!" Usman menahan bahu Yanto.

Buukkk...Usman kena tinjuan keras dari Yanto. Ia terpeper ke pinggir kapal. Yanto yang bertubuh kekar itu menarik kerah baju muslimnya.

"Jangan main-main dengan saya, cepat keluarkan perempuan itu dari persembunyiannya!"

"Kubilang takada!" Bukkkk kini tubuh Yanto yang kembali terpeper ke pinggir kapal. Usman membetulkan kerah bajunya. Ia bersiap kuda-kuda. Tampaknya Yanto bukan main lawannya. Lelaki bertubuh kekar itu juga siap menyerang.

Bertarunglah kedua lelaki itu di haluan. Nahkoda tetap menjalankan kapalnya sambil merokok. Santai saja tanpa ikut campur urusan mereka.

Sementara anak buah Yanto terus menggeledah bawah kapal. Di samping tumpukan drum biru mereka menemukan Nursam. Ia meronta di bawa ke haluan.

Yanto dan Usman masih bertarung, wajah masing-masing sudah babak belur. Keduanya imbang, sama-sama kuat. Lalu, akhir dari pertarungan itu Usman berhasil mengunci Yanto. Namun, tiba-tiba saja ia lumpuh karena salah satu anak buah Yanto memukul keras dengan kayu dari belakang.

Usman pingsan. Nursam menjerit ketakutan dan terus memanggil Usman agar sadar. Dalam setengah sadar Usman berusaha mengangkat tangannya dan lirih memanggil Nursam.

....

KARINDANGAN Where stories live. Discover now