"Nih,"
Dara menyodorkan segelas teh hangat kedepan Bara yang sedang berkutat dengan laptop dimeja.
"Makasih," ujar Bara singkat mencium puncuk kepala Dara yang duduk disampingnya.
"Ngerjain apa sih," ujar Dara mengalihkan tatapan Bara yang mengarah kepipinya yang memerah.
Bara tersenyum geli, tapi tak urung menjawab. "Urusan kantor,"
"Hah?, kamu ngantor?" tanya Dara terkejut.
"Iya," kata cowok itu pelan kembali fokus ke layar laptopnya.
"Kerja di perusahaan Kakek sama bantu-bantu di perusahaan Papa," terang Bara.
Jangan lupakan bahwa Papa dan Kakeknya tidak akur, jadi Papanya membangun perusahaan sendiri yang kini sudah melejit menjadi perusahaan besar.
"Hebat," ujar Dara kagum. "Kenapa nggak bilang dari dulu?" tanya Dara heran.
"Gak sempet," ujar Bara menoleh kearah Dara. "Lupa terus," lanjutnya.
Dara hanya mengangguk pelan, matanya tetap melihat kearah laptop Bara. Tak paham memang.
"Kok udahan?"
"Mandi cepet," perintah Bara sambil menutup laptopnya.
"Mau kemana?" tanya Dara.
Bara menghembuskan nafas pelan, "kerumah kakek, kita diundang buat makan malam,"
"Bar," ujar Dara ragu.
"Mandi, nggak bakal kenapa-napa. Percaya sama aku," ujar Bara tegas.
_ _ _
Dara sudah cantik dengan dress selutut miliknya. Warnanya yang hitam cocok dengan Bara yang hanya memakai kemeja warna hitam dengan celana bahan.
"Udah?" tanya Bara sambil melipat lengan kemejanya kesiku.
"Udah,, mm Bar... Kamu yakin?" tanya Dara ragu.
Tangan Bara bergerak menangkup pipi istrinya. "Percaya sama aku, oke? Itu cuma Kakek," ujar Bara setelahnya mengecup bibir Dara lama.
"Dia udah tau Bar, artinya," ujar Dara masih saja gelisah.
Bara menghembuskan nafas kesal. "Mau Kakek udah tau atau belum juga kamu tetep istri aku, selamanya," ujar Bara tegas dengan nada tak terbantahkan.
"Iya," ujar Dara pasrah, semoga saja tak terjadi apa-apa.
Ya semoga saja.
_ _ _
Keadaan mobil mereka sangat hening. Ditambah lagi dinginya malam membuat mereka lebih memilih diam.
Dara menoleh ketika tanganya digenggam erat oleh Bara. Pipinya memanas saat Bara mengecup punggung tanganya sekilas.
Cowok itu tersenyum menoleh kearah Dara, "Kamu nggak pengin sesuatu?" tanya Bara.
"Heum? Nggak, babynya lagi nggak manja," balas Dara mengusap perutnya pelan yang diikuti Bara.
Bara terkekeh, tanganya tak henti-hentinya mengusap perut Dara, meskipun satunya lagi ia fokuskan untuk menyetir.
Mereka saat ini sedang dalam perjalanan kerumah Kakek Bara. Gugup, itu yang dirasakan Dara walaupun Bara terus meyakinkan lewat ucapan atau tindakanya.
Bara menghentikan mobil dihalaman rumah besar yang terlihat mewah bertingkat tiga. Cowok itu segera turun, membukakan pintu mobil disampingnya.
"Ayo, gak papa," ujar Bara meyakinkan saat melihat Dara tak kunjung turun.
"Huh..." Dara menghembuskan nafas pelan. Meredam kegugupan yang melanda hatinya. Tanganya menerima uluran tangan Bara.
Bara langsung memegang pinggang Dara saat gadis itu turun, keduanya berjalan beriringan. Terlihat serasi memang, tapi kita tak tau bagaimana takdir mempermainkan mereka.
"Rileks oke?"
Dara mengangguk pelan, kemudian keduanya memasuki rumah besar itu. Sunyi. Satu kata yang tepat. Pelayan yang ada langsung menggiring mereka ke meja makan, tempat dimana sang Kakek menunggu.
Bara berdehem, membuat laki-laki paruh baya yang sedang duduk diujung meja itu medongak. Mata tajamnya meneliti keduanya. Kemudian berdecih pelan. Hal itu membuat Dara merapatkan tubuhnya ke Bara yang direspon langsung oleh cowok itu.
"Nikah nggak ngundang saya heh?" tanya Reno sinis.
"Kenapa harus?" jawab Bara berani. Keduanya kini bertatap tajam, seolah menghunus satu sama lain.
"Kurang ajar kamu Bara!" ujar Reno marah.
"Hamil diluar nikah?" lanjut Reno sedikit mengejek. Matanya menyusuri tubuh Dara dan berhenti diperut Dara yang sedikit membuncit.
"Murahan," gumam Reno pelan, tapi mereka masih bisa mendengar.
"Kakek!" ujar Bara tak sadar cukup membentak. Apalagi saat merasakan tangan Dara yang sedikit bergetar digenggamanya.
"Hmm, sama aja kaya Papa kamu,"
"Gak bisa pilih pasangan," ujar Reno penuh penekanan. "Kakek udah pilihin pasangan yang cocok untuk kamu, tapi kenapa malah pilih dia?" ujar Reno menatap tajam Bara.
"Siapa?, Indah?" balas Bara sedikit mengejek dari nada suaranya. "Jangan ikut campur urusan Bara," ujar Bara dengan nada kembali dingin dan datar. Tak peduli bahwa itu kakeknya.
Cukup sudah, setelah 17 tahun dia hidup dan dikekang kemauanya oleh Reno, maka kini tidak lagi. Bara tak mau, ia sudah memiliki hidup sendiri. Tak mau menuruti ucapan pria tua bangka itu.
Mata Bara menajam, mereka berpandangan cukup lama. Menguarkan aura yang mencekam, terasa dingin dan sunyi. Setidaknya itu yang dirasakan Dara kali ini.
Bara mengernyit heran mendengar Reno yang tertawa pelan, canggung. Pria itu kemudian berdehem menatap istri cucunya yang sedari tadi hanya terdiam, "berapa bulan?" tanyanya pelan. Hatinya kepo ingin mengetahui itu.
"13 Minggu, hampir Kek," cicit Dara pelan. Menunggu reaksi dari Kakek Bara, tapi pria itu hanya diam.
"Duduk," ujarnya mempersilahkan.
Dara sendiri sudah menggerutu dalam hati, meskipun rasa takut itu masih ada. Kenapa nggak dari tadi coba nyuruh duduknya? Pegel kan, mana udah debat lagi.
"Kita punya tamu sepesial," ujar Kakek Bara tiba-tiba.
Pandangan mereka teralihkan ketika seorang pelanyan membawa seorang perempuan yang sedang memakai dress selutut warna merah. Gadis itu tersenyum sinis yang membuat Dara membeku.
"Apa kabar kamu Indah?" ujar Kakek Bara lembut, hal itu seolah menyadarkan Dara. Dirinya siapa memang harus diperlakukan selembut itu?
Bara menggeram tertahan. Tanganya memegang erat tangan Dara dibawah meja. "Apa mau Kakek?" ujarnya dengan nada rendah, marah.
"Satu aja," ujar Reno terkekeh ringan menatap cucunya.
"Ceraikan dia Bara!"
_ _ _
Vote and coment guys.
Kakeknya emang :-\
KAMU SEDANG MEMBACA
ALDARA [SUDAH TERBIT]
Teen FictionNyatanya Bara itu Nakal. Bara itu Dingin. Bara itu kaku. Tapi bagaimana kalau si Badboy, dingin dan kaku itu akan menjadi seorang ayah?. Berbeda, Bara akan belajar menjadi ayah yang baik untuk calon anaknya. Hanya karena dijebak bersama seorang pere...