°04°

299 27 8
                                    

Vano baru saja menyelesaikan makan siangnya dan berniat pergi dari kantin ketika Feron tiba-tiba saja duduk pada kursi di depannya. Cowok itu meletakkan sepiring batagor yang masih hangat dan dua botol minuman dingin di atas meja, lalu menggeser salah satu botol minuman tersebut ke arah Vano.

"Nih, sebagai tanda terima kasih gue karena udah mau nganterin balik adek gue kemaren."

"Nggak usah repot-repot, bang. Santai aja."

"Udah, minum aja." Kata Feron sambil mulai melahap batagor miliknya.

Vano mengangguk dan meraih botol tersebut, membukanya, lalu meminumnya tanpa berkata apa pun.

"Lo masih ada kelas, Van?"

"Iya, bang. Tapi masih sekitar satu jam lagi."

Feron menganggukkan kepalanya.

"Oh iya, semalem adek gue bilang katanya lo ganteng. Dan dari cara dia nyeritain lo, kayaknya dia naksir."

Vano hanya melirik Feron, tidak tahu harus membalas apa. Sedangkan kakak tingkatnya itu kini sudah berhenti mengunyah dan malah menatap Vano tepat di mata sipitnya.

"Woah, ngadi-ngadi banget adek gue bisa naksir sama cowok seperfect lo!" Kata Feron sambil tertawa, "Tapi nggak papa, biar gue punya bahan ledekan karena lo nggak mungkin kan balas naksir ke adek gue."

"Saya nggak perfect, bang."

Lagi-lagi Feron tertawa, "Nggak usah merendah, Van. Tapi yang jelas, lo emang terlalu sempurna buat adek gue yang nggak memiliki apa-apa untuk dibanggain."

Vano menatap heran kepada Feron yang sedang fokus memakan batagor di depannya. Masalahnya, ini adalah pertama kalinya Vano mendengar seorang kakak yang mengatakan kekurangan adiknya sendiri dengan santai kepada orang lain. Padahal menurut Vano, adiknya Feron yang bernama Velin itu cukup menarik.

Munafik jika Vano mengatakan kalau Velin tidak cantik. Apalagi ketika Vano bertemu dan mengantarkan gadis itu pulang kemarin, di mata Vano, Velin itu bukan hanya cantik, tetapi kecantikan yang dimiliki Velin tidak seperti kebanyakan perempuan cantik yang pernah Vano lihat. Velin cantik dengan caranya sendiri yang terkesan natural dan apa adanya. Penampilannya juga sangat sederhana, tidak ribet seperti perempuan lain. Meskipun kemarin Velin hanya menggunakan celana jeans dan kaos berbalut jaket denim serta sepatu Converse yang warnanya sudah sedikit pudar, tetapi menurut Vano, penampilan simple dan kesederhanaannya itu patut dibanggakan.

Karena yah, kalau Velin mau pergi kemana-mana, pasti gadis itu tidak membutuhkan waktu lama untuk berdandan. Dan itu merupakan point plus di mata Vano yang memang tidak suka membuang-buang waktu hanya untuk menunggu seseorang berdandan jika akan pergi bersamanya.

Tunggu, untuk apa Vano mengaitkan hal itu dengan Velin? Lagipula kan Vano tidak mungkin akan pergi ke suatu tempat bersama gadis itu.

Getar ponsel di dalam saku Vano membuat pikiran cowok itu tentang Velin buyar seketika. Ia mengambil ponselnya, lalu mengangkat panggilan masuk yang ternyata dari teman sekelasnya yang bernama Amar. Katanya kelas terakhir siang ini dibatalkan karena dosen yang seharusnya mengajar di kelas mereka berhalangan hadir dan Amar mengajak Vano untuk melanjutkan tugas kelompok mereka yang belum selesai.

"Oke, di mana?"

"Di kosan Fauzi aja, Van. Lo tau kan?"

"Oke."

Tut.

Vano mematikan sambungan telepon dan kini beralih menatap Feron yang sudah menghabiskan batagor miliknya.

"Saya pamit duluan ya, bang."

"Oke, Van. Hati-hati!"

Vano mengangguk dan pergi meninggalkan kantin.

∆∆∆

VANOVELIN [Completed]Место, где живут истории. Откройте их для себя