4. Ramalan.

45 20 10
                                    

'Apaaa?! Ezra adalah putra mahkota?!"

.

Lizha, Ezra, Arion dan Pendeta Kuil kini duduk di teras kuil sembari menyeruput teh racikan pendeta. Teh melati racikan Pendeta itu begitu nikmat. Bahkan Lizha sudah cukup tenang sekarang. Ia menghembuskan napas perlahan mengamati sekeliling Kuil. Berada di kuil ini seperti berada pada masa dinasti di China dan seperti di Anime yang ia tonton. Berada di puncak gunung membuat ia bisa menikmati keindahan alam yang memanjakan mata.

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Tanya Pendeta.

"Sudah cukup membaik," jawab Lizha menyunggingkan senyum manisnya.

"Udara di pegunungan ini begitu dingin. Teh melati itu cukup untuk membuat badan dan pikiran tenang," jelas Pendeta.

Lizha hanya tersenyum. Menampilkan deretan gigi putihnya. Ia pun kembali menyeruput teh racikan Pendeta. Begitu nikmat dan hangat.

"Akhirnya kau datang juga setelah 20 tahun," ucap Pendeta lalu menyeruput tehnya.

Lizha mengernyitkan dahi, "Apa maksud anda?"

"Untung saja kau bertemu dengan Pangeran Ezra dan datang kesini. Seberapa hebat seni sastra dan pedangmu?" Tanya Pendeta.

"Hehe ... aku hanya bisa sedikit seni sastra," jawab Lizha.

Pendeta beranjak dari posisinya menatap sekeliling kuil. Para Peri dengan sinar warna hijau sibuk terbang kesana kemari. Mereka tampak sibuk dengan apa yang dikerjakan. Meski pepohonan tidak berdaun dan rumput kering, tempat ini tetap indah. Matahari bersinar begitu terang. Kabut yang tadi terlihat kini sudah tidak ada lagi.

"Mereka adalah Peri Kuil yang selalu merawat Kuil ini," jelas Pendeta menjawab pertanyaan yang ada di pikiran Lizha.

"Pendeta," panggil Lizha.

"Ada apa, nak?" Tanya Pendeta tanpa melihat Lizha.

"Apa maksud perkataan anda tadi? Apa anda menunggu saya datang selama 20 tahun?" Tanya Lizha membuat Pendeta kini menatap lekat wajahnya.

"Soal itu ....
________________

Ezra dan Arion sedang berlatih pedang di halaman, sementara Lizha hanya duduk melamun di teras Kuil. Berkecamuk dengan pikirannya. Memikirkan apa tang dikatakan Pendeta tadi. Lizha menggelengkan kepala.

'Itu tidak mungkin. Kenapa harus aku?'

Entah kenapa pembicaraannya dengan Pendeta tadi terngiang-ngiang.

"Kau harus menyelamatkan Ratu Alissya, Ratu kami. Beliaulah pemimpin yang seharusnya," ucap Pendeta.

"Tapi bagaimana caranya? Aku bahkan tidak ahli dalam bertarung?" Tanya Lizha kebingungan.

"Kau harus bisa! Gunakan busur panah itu. Dia telah meminum darah Iblis maka dia akan abadi. Satu-satunya cara kau harus bertarung dengannya menggunakan busur itu dan mengambil kembali sinar bulan yang dicuri Allina!" Jelas Pendeta membuat Lizha semakin kebingungan.

'Yang benar saja aku mengalahkannya.'

"Dengan sinar bulan kekuatannya semakin kuat dan dengan sinar bulan pula kekuatannya akan lenyap. Kegelapan akan dikalahkan oleh sinar bulan," tambah Pendeta.

Lizha hendak beranjak dari posisinya ketika sebuah pukulan di kepalanya mengagetkannya. Terlihat Ezra dengan sebilah bambu di tangannya. Pukulan yang dilancarkan Ezra membuat darah di kepala Lizha mendidih. Ingin rasanya Lizha menendang kepala Ezra tapi segera ia terpaku melihat seekor ular tergeletak tak bernyawa.

"U-ular!!" Pekik Lizha.

"Makanya jangan duduk melamun disini," ucap Ezra membuang bangkai ular itu.

Lizha mengatur napasnya yang memburu. Ia menatap lurus kedepan. Arion tidak ada disana. Lalu pandangannya teralihkan oleh Ezra yang mengulurkan tangannya.

"Mau ikut denganku ke suatu tempat?" Tawar Ezra.

"Kemana?" Tanya Lizha heran.

"Aku yakin kau pasti tak akan kecewa," ucap Ezra dengan senyum simpulnya.

Lizha menyambut uluran tangan Ezra. Mood nya hancur sudah. Ia butuh tempat untuk menenangkan diri. Benar saja, keinginannya untuk menenangkan diri dikabulkan oleh Ezra. Suara riak air menyambut mereka. Sebuah danau ralat bukan danau tapi kolam ikan. Lizha tak hentinya takjub, membuat Ezra tertawa melihatnya.

"Aku tau kau sedikit shock soal ucapan Pendeta bukan?" Tanya Ezra kini sudah duduk di bangku yang menghadap langsung ke kolam.

Lizha hanya diam membisu di tempat ia berdiri. Tatapan kosongnya seakan ada pesan tersirat dibalik itu. Ezra menepuk sisi kanan tempat ia duduk seakan mengisyaratkan Lizha agar duduk disitu. Lizha hanya menurut. Ia pun duduk disamping Ezra. Duduk dalam diam, tak satupun dari mereka bersuara. Hingga Ezra berinisiatif untuk memulai pembicaraan.

"Aku tau keputusan itu berat untukmu. Tapi itu terserah padamu," ucap Ezra kali ini lebih lembut dari biasanya.

"Jika kau memilih menolak keputusan itu, kau tak akan kembali ke duniamu dan dunia ini akan hancur oleh pemimpin yang zalim," jelasnya Ezra.

Lizha masih diam, mencerna apa yang dikatakan Ezra. Tidak bisa kembali? Yang benar saja. Lizha harus kembali. Ada Ibu yang sedang menunggunya pulang. Tapi apakah ia bisa?

"Ibuku adalah Ratu dan pemimpin di sini sebelum penyihir egois itu merebutnya. Aku yang masih terlalu kecil untuk mengerti akan hal itu, dirawat oleh seorang bangsawan yang sudah menganggapku sebagai anak dan membesarkannya," jelas Ezra.

Netranya yang bewarna biru seperti lautan kini menatap sendu kolam yang ada didepan mereka. Bicara soal Ibu, Lizha kembali mengingat Ibunya. Wanita yang selalu mendidiknya dengan keras agar kelak ia menjadi orang yang berguna. Bayangan Ibunya yang terbaring di kasur dengan selang sebagai jalannya untuk hidup menghiasi pikirannya. Ayahnya sudah lama meninggalkannya. Ibu lah satu-satunya yang ia punya. Buliran air mata lolos menelusuri kulit putihnya.

Lizha menyentuh pipi Ezra yang tirus. Ya, tirus. Laki-laki ini lebih sering bekerja ketimbang memerhatikan kesehatannya. Ezra kaget menerima sentuhan itu. Mata birunya kini saling beradu dengan mata Lizha yang hitam legam. Lizha menggerakkan tangannya satu lagi menyentuh pipi sebelah kiri Ezra. Kini kedua tangannya menangkup wajah seorang pewaris tahta selanjutnya. Ia tersenyum manis kepada pria yang ada didepannya.

"Aku akan melakukannya," ucap Lizha dengan sorot mata yang serius.

Ezra kaget mendengarnya, "Lizha?"

"Aku pasti akan melakukannya. Aku akan berusaha semampuku. Aku juga memiliki seorang Ibu yang sedang menungguku disana. Aku akan menyelamatkan negeri ini," ucap Lizha dengan tegas.

"Karena itu ... Yang Mulia Putra Mahkota jangan bersedih lagi ya," ucap Lizha sedikit menggoda.

Ezra tertawa mendengar perkataan Lizha barusan. Ia melepaskan tangan Lizha dari wajahnya. Digenggamnya tangan mungil itu. Lalu menyunggingkan senyuman manis yang ia miliki. Membuat degup jantung Lizha bertambah cepat. Untung saja ia tidak mimisan.

Deg

Deg

Deg

"Kau juga jangan bersedih lagi. Karena aku akan ada disisimu," ucap Ezra.

"Ayo kita kembali," ajak Ezra dibalas anggukan oleh Lizha.

.

Bersambung.

Holla Readers, maaf baru update. 🙏😁😂😂

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan menekan ikon bintang ya. Komen juga dibutuhkan untuk membantu penulis lebih baik lagi. 😊

Salam manis dariku.

Yurika Rahma











Lizh [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang