-A Disaster (재앙)

22 10 4
                                    


Begitu kembali ke lokasi bus mereka berada, Yerim segera menyuruh Myungsoo untuk melajukan bus sesuai yang ia arahkan.

"Kim Jaejoong, Jaejoong-ssi! Di ruangan mana?" Ketika sampai di rumah sakit, Yerim langsung menyerbu pegawai administrasi dengan pertanyaan.

"Tolong tenanglah terlebih dahulu. Jika kalian tetap berseru seperti ini, ditakutkan nantinya malah membuat keluarga pasien yang lain panik pula,"

"Aish, rasanya aku tidak bisa tenang kalau belum mengetahui keberadaan orang tuaku," sindir Doyeon, yang ditujukan untuk sang pegawai administrasi.

Sang pegawai administrasi hanya menatap Doyeon dengan wajah menahan emosi. Doyeon memang orang yang ahli memancing amarah, meskipun pancingannya sudah profesional.

Jongin berdeham, guna mencairkan suasana. "Bagaimana keadaan mereka?"

"Banyak orang yang wajahnya sudah tidak bisa teridentifikasi oleh mesin autopsi. Saya tidak tahu yang Anda maksud siapa,"

"Payah! Seharusnya orang yang tidak solutif seperti kau dipecat saja!" cibir Sejeong.

"Ya, ya! Kau betul sekali, Sejeong-ah!" sahut Taehyung.

"Oppa! Rumah sakit ini milik keluarga Chou, bukan?" celetuk Dahyun, sambil merangkul pundak Yugyeom ——sebenarnya tidak sampai, sih.

Yugyeom mengedikkan bahu. "Memangnya nama rumah sakit ini apa?"

Dahyun melihat ke sekeliling, kemudian berujar, "Rumah Sakit Hallym University Medical Center,"

Lawan bicaranya—Yugyeom mengangguk sambil ber-oh ria. "Kalau tidak salah ini milik salah satu perguruan tinggi di sini. Kau bisa mengetahui hal itu dari namanya, Dahyun-ah."

"Tapi, aku dengar Bibi Chou telah membeli 50% sahamnya, sehingga pendiri asli rumah sakit ini hanya memegang 5%. Apa itu benar?"

Lagi-lagi, Yugyeom hanya mengedikkan bahu.
Bukannya malas untuk menjawab atau apa, tapi dia memang tidak tahu dan sedang tidak ingin membahas hal selain keadaan keluarganya.

"Hanya pebisnis yang tahu masalah itu," sahut Mingyu.

"Apa kalian anggota keluarga Nyonya Sandara?"

Junkyu mengangguk. "Kami semua anak-anaknya."

Pegawai administrasi terlihat pusing ketika menghitung jumlah mereka semua.

"Baik. Nyonya Sandara baru saja dipindahkan ke ruangan sakura nomor 2," Sang pegawai administrasi menjeda ucapannya sejenak, "kalian bisa menunggui Nyonya Sandara bergantian, dengan syarat maksimal dua orang di dalam ruangan tersebut,"

Kei tersenyum tulus kepada pegawai administrasi itu. "Oke, terima kasih." ucapnya.

Seolah tak mau mendengarkan, mereka berlarian menuju ruangan yang dimaksud.

"Nona bagian dari mereka juga?" Pegawai administrasi dengan name tag 'Ji Yena' itu bertanya kepada Jiho, yang sengaja berjalan paling akhir.

Dengan spontan Jiho menoleh kembali kepada Ji Yena. "Ya?"

Ji Yena menyodorkan beberapa kertas, kemudian menunjuk bagian bawah salah satu kertas itu. "Bisa tolong tanda tangan di sini untuk persalinan caesar pasien atas nama Moon Jimin?"

"Maaf, tapi ... apa!?"

"Ada apa, Nona?"

"Moon Jimin siapa yang kau maksud? Siapa yang hamil? Siapa yang akan melahirkan? Ngaco!" omel Jiho, tapi ia tetap tanda tangan pada kertas tadi.

Siapapun Moon Jimin yang dimaksud, tapi jika ia benar-benar harus melakukan persalinan, menurut Jiho ia tetap harus menandatangani surat persetujuan bila diminta.

Menurut Jiho, menghargai dan memuliakan seorang Ibu maupun calon Ibu adalah suatu kewajiban.

Meskipun jika Moon Jimin yang dimaksud oleh pegawai administrasi ini bukanlah Moon Jimin yang Jiho kenal, tapi biarlah.

Yang penting, orang itu dan bayinya bisa selamat.

"Oh iya, Nona. Diharapkan untuk membaca isi kertas-kertas itu dengan baik, karena ini masalah serius." ujar Ji Yena tiba-tiba.

Jiho hanya membalik-balik kertas tersebut. Karena, dasarnya ia memang malas membaca. "Memangnya ini apa, sih?"

"Ini adalah surat pengurusan jenazah." Ji Yena menjelaskan dengan singkat.

Jiho langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Rumah Sakit Hallym University Medical Center disebut-sebut sebagai rumah sakit termewah dan peralatannya paling canggih daripada rumah sakit lain di Seoul, Korea Selatan.

Tapi, nyatanya rumah sakit dengan peralatan paling canggih senegara pun tak bisa menyelamatkan nyawa puluhan orang.

Karena, pada dasarnya, memang hanya Tuhan yang memiliki hak untuk menentukan kapan ajal kita tiba.

Anggota keluarganya tidak boleh tahu apapun soal ini. Setidaknya sampai Mama Sandara pulih dan diizinkan dokter untuk pulang.

Begitu niat Jiho untuk saat ini.



9-12-2020

+Kim Family; Satu Untuk SemuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang