8

360 25 0
                                    

Saya tidak habis pikir. Cinta menyaksikan kejadian itu sendiri. Sudah dua orang yang tau apa sebenarnya yang terjadi dengan keluarga saya. Yang saya khawatirkan bukan karena Cinta tau masalah ini. Tapi saya khawatir kalau Cinta takut berdekatan dengan orang yang memiliki keluarga yang kontroversial seperti saya. Seperti orang-orang lain yang mengecap keluarga saya berbahaya.
"Rangga!"
Saya yang tadinya hendak keluar dari perpustakaan, menoleh ke belakang. Seperti mengenali suara indah itu.
"Eh, kemarin udah ketahuan siapa yang lempar bom?" tanya Cinta
"Ah, mending juga nggak ketahuan. Daripada ketahuan, dihukum juga nggak." jawab saya dengan nada sesal
Ternyata Cinta hendak mengembalikan demo kaset yang saya berikan kepadanya. Saya senang mendengar dia suka dengan lagu-lagu di kaset itu.
Tidak melewatkan kesempatan ini, saya pun mengajak Cinta menonton Rama, sepupu saya, penyanyi dari lagu-lagu di demo itu yang akan manggung di Blues Cafe.
Berdiri di hadapan Cinta seperti ini ingin sekali menyampaikan waktu saya di Jakarta tidak lama.

Setelah saya menunggu lama, Cinta tidak kunjung melepon ke rumah. Selagi menunggu Cinta, tiba-tiba ada telepon masuk.
Ternyata bukan Cinta. Telepon itu dari NYU yang menanyakan tanggal kedatangan kami. Saya semakin risau memikirkan kepergian saya nanti.
"Rangga?" sahut Cinta dari ujung telepon.
Akhirnya.

Malam itu Cinta terlihat menarik. Bukan Cinta yang galak tempo itu. Rambutnya dan cara berpakaiannya berbeda.
Ia terus tersenyum dan menggumamkan lagu yang ia hafal saat musik sedang dimainkan. Saya tidak ingin kehilangan dia secepat ini.
"Siapa sih gitarisnya?" tanya Cinta
"Namanya Rama, saudara saya."
Kemudian Cinta dan Rama berkenalan.
"Jadi ini nih yang namanya Cinta nih." tanya Rama kepada saya.
"Kamu udah cerita apa saja tentang saya?" tanya Cinta
"Ada sih, dia bilang ada cewek yang ngeselin gitu katanya mau nonton kita tadi." canda Rama
Cinta lalu mendaratkan timpukannya pada lengan saya sambil tersenyum malu.
Saat Rama kembali ke panggung, Ia memanggil Cinta ke depan untuk bernyanyi. Sehari sebelumnya saya memang sudah berpesan dengan Rama untuk memanggil Cinta ke depan.
Cinta lalu kaget dan berjalan ke depan dengan malu.
"Sebenernya saya nggak bisa nyanyi. Nggak tapi, saya cuma suka aja."
"Jadi gini deh, kalau sekarang saya disuruh nyanyi, saya nggak tau mau nyanyi apa. Jadi... Yang lain aja ya?" jelas Cinta di panggung yang membuat saya tertawa
Rama mulai memainkan gitarnya. Alunan gitarnya merdu bermain. Saya penasaran lagu apa yang akan dinyanyikan Cinta. Cinta memejamkan matanya.
"Kulari kehutan kemudian menyanyiku.."
Lantas saya kaget dan mendengar dengan serius.
Dia membawakan puisi saya.
Darah di dalam tubuh saya seperti mengalir deras. Saat itu saya tau saya jatuh cinta dengannya.
"Kulari kepantai kemudian teriakku.."
"Sepi. Sepi dan sendiri aku benci."
"Aku ingin bingar! Aku mau di pasar! bosan aku dengan penat. Dan enyah sja kau pekat."
"Seperti berjelaga jika kusendiri."
"Bosan aku dengan penat...dan enyah saja kau pekat" nyanyi Cinta yang mengubah puisi saya menjadi lagu.
Tentu saja saya semakin terbelalak kaget. Ia membuat lagu dari puisi saya!
Penonton bertepuk tangan.

Saya dan Cinta tidak kunjung menemukan taksi. Saya pikir malam itu akan menjadi malam yang melelahkan. Tapi ternyata tidak juga. Sepanjang perjalanan Cinta selalu bertanya-tanya apa saja yang ingin Ia tanya kepada saya. Ia sangat penasaran dengan kisah hidup saya.
"Eeehh..Cinta! Saya pengen ngomong sebentar deh."
"Apaan?" jawab Cinta sambil memakan kacang rebus

Saya berhenti di bawah pohon. Diam sejenak, mendadak saya kemudian menendang pohon itu dan berlari menjauh. Air sisa hujan menimpa Cinta.
Saya tertawa puas melihat Cinta tertawa dan kebasahan.
"Gimana sih!" Cinta mengejar lalu memukul saya. "Jahat banget sih kamu!"
Saya terus tertawa melihat tingkahnya.
Sesampai di depan rumah Cinta, "Eh, Ga... Boleh nanya nggak?" tanya Cinta ragu.
"Tapi jangan marah." lanjutnya
Pasti mengenai Ibu saya.
"Mau nanya soal Ibu saya?"
"Ibu dan kakak-kakak saya udah lama ninggalin Ayah" saya melanjutkan cerita dan Cinta memandang saya kasihan.
"Hhhh... Kamu tahu nggak, ada berapa orang yang pernah saya ajak ngomong tentang keluarga?" tanya Saya
Cinta hanya menggeleng.
"Yang pertama Pak Wardiman dan yang kedua.. kamu."
"Yang jelas saya malu ngomongin soal itu ke sembarang orang. Orang akan pikir saya anak dari Ibu yang nggak bertanggung jawab."
Saya jadi teringat soal Ibu.
Menceritakan ini pada Cinta memang berat. Keduanya adalah orang yang saya cintai. Saya tidak mau kehilangan Cinta seperti saya kehilangan Ibu.
"Sssshhh... Kamu nggak usah cerita lagi deh. Saya juga mestinya nggak usah nanya. Maafin saya ya." kata Cinta sambil menaruh jari telunjuknya pada bibir saya. Saya tertegun yang memegang tangannya.
"Udah malam Ta. Saya pulang dulu."

"Sebaiknya kamu masuk, sudah malam."
Saya tidak menyangka hampir menciumnya. Saya belum pantas. Saya harus mempertanyakan Cintanya suatu saat nanti.

Mengejar CintaWhere stories live. Discover now