# 22 | Hurt

24 7 22
                                    

awas pusing.

||•••||

"Kita pernah merasakan apa yang kau rasakan saat ini. Kita tau, betapa perihnya ditinggalkan seseorang yang paliang kita sayangi, di saat semuanya terlihat baik-baik saja."

~ Mentari Seren

||•••||

"Aku nggak berguna!" Kata-kata yang Sena keluarkan seolah menjadi pertanyaan besar di pikiran Mentari. Isakan tangis Sena semakin menjadi, air mata mulai membanjiri wajahnya yang rupawan.

"Papa ..." lirih Sena. Ia langsung jatuh dengan lutut yang menyentuh jalanan aspal. Mentari mendudukkan dirinya menghadap ke arah Sena. Perlahan, tangannya memegang kedua pundam Sena yang terus bergetar akibat isak tangisnya.

"Ada apa dengan papamu?" tanya Mentari, rasa penasarannya tumbuh begitu saja. Sebenarnya, ia ingin bersikap bodo amat dengan Sena, tetapi di saat ia menatap mata Sena yang penuh dengan kesedihan. Ia ingin menganggapnya angin lalu, tetapi ia bisa merasakan apa yang Sena rasakan saat tidak ada siapa-siapa yang mengusap air mata di kala sedih datang.

"Papaku ... papaku ninggalin aku sama mama sendirian demi wanita lain," lirih Sena dengan isakan tangisnya. Keynan langsung menghampiri keduanya dengan keterkejutan yang ia tampakkan di air wajahnya. Ia menatap Mentari, begitu juga sebaliknya. Pikiran keduanya kembali menjelajah masa lalu, di saat mereka merasakan apa yang Sena rasakan.

Mentari mengembuskan napasnya kasar dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia bisa merasakan panas di matanya. Matanya mengabur karena sudah dipenuhi air mata yang siap tumpah kapan saja. "Aku jadi rindu ibu sama ayah," batinnya.

"Aku juga rindu ayahku," batin Keynan. Mentari dan Keynan menatap indahnya langit malam dengan ribuan bintang yang menggantung di atas. Mereka mengulas senyuman tipis, mereka sama-sama merindukan orang yang berarti dalam hidup mereka, orang yang telah meninggalkan kenangan di dalam hidup mereka, dan orang yang telah tiada meninggalkan dunia yang fana.

Mentari mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengahpus air mata yang telah jatuh membasahi pipinya. Ia menolehkan kepalanya kembali ke arah Sena, dapat ia lihat bahwa Sena masih setia dengan pekerjaannya, yaitu mengeluarkan air mata. Mentari menghembuskan napasnya pelan dan menggerakkan tangannya untuk menggenggam tangan Sena. Sena terkejut saat Mentari memegang kedua tangannya secara tiba-tiba.

"Tenang, tanganku bersih. Tidak ada ada tahi lalatnya," celetuk Mentari dengan menepuk-nepuk kedua tangannya, membersihkan kotoran yang 'tak kasat mata. Sena menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Kenapa kau peduli kepadaku?" tanyanya kepada Mentari.

"Karena aku pernah merasakan rasa sakit dan kehilangan yang sedang kau rasakan," jawab Mentari dengan tatapan sendu.

"Ya, aku juga," tampik Keynan tiba-tiba. Pandangannya yang semula ia fokuskan ke arah ribuan bintang di langit, kini kembali kepada dua perempuan yang berada di dekatnya. Pandangan Keynan dan Mentari bertemu untuk beberapa detik. Mereka merasakan rasa sakit kembali setelah luka lama yang telah mengering.

"Kita pernah merasakan apa yang kau rasakan saat ini. Kita tau, betapa perihnya ditinggalkan seseorang yang paliang kita sayangi, di saat semuanya terlihat baik-baik saja," ucap Mentari.

Sena menatap kedua manik Mentari selama beberapa menit. "Kenapa kau menghampiriku? Kenapa kau berbuat baik kepadaku seolah-olah aku juga berbuat baik kepadamu? Kenapa kau memegang tanganku untuk memberikan kekuatan kepadaku, walaupun kedua tanganku ini selalu membuatmu menderita?" tanya Sena bertubi-tubi dengan air mata yang masih mengalir.

"Karena aku memiliki rasa kemanusiaan. Jika kau ingin meluapkan segala kesedihanmu, silahkan saja. Jika perlu, kau bisa meminjam bahuku untuk menjadi bahan sandaran," jawab Mentari dan memindahkan tubuhnya untuk duduk di sebelah Sena.

Sena menatap Mentari sekejap, ia masih tidak percaya dengan semuanya. Mentari menganggukkan kepalanya meyakinkan Sena. "Tenang, tubuhku nggak bau, kok. Aku semprot parfum dua puluh lima kali," ceplos Mentari.

Sena menggelengkan kepalanya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Mentari, dan mulai menangis kembali. Meluapkan segala kesedihan dan kekecewaannya, tanpa mempedulikan siapa yang sedang bersamaya. Hatinya hancur, rasanya sangat perih jika ia mengingat momen indah bersama papanya.

"Aku nggak tau kau ini terbuat dari apa, Mentari. Kenapa kau sebaik ini? Walaupun selama ini, kau selalu mendapatkan penderitaan jika berhadapan dengan Sena. Aku bangga kepadamu, aku tidak salah pilih orang," batin Keynan dengan mengulas sebuah senyuman, menatap Mentari yang sedang menenangkan Sena dengan penuh rasa kebanggaan di hati.

***

"Kita tidak bisa menunggunya sampai acara perpisahan tiba," keluh perempuan bersurai cokelat kepada laki-laki bermanik biru laut yang berada di sampingnya.

"Mereka sudah merencanakannya dengan sangat matang. Dalam waktu yang cepat, mereka akan segera tiba di bumi!" lanjutnya dengan nada yang meninggi.

Laki-laki bermanik biru laut itu mengembuskan napasnya kasar, ia membuang muka ke arah kanan, kemudian berdiri. "Oke, oke. Aku akan mengatakannya, besok!" putusnya. Napasnya memburu, ia tidak tahu lagi harus berkata dan berbuat apa lagi. Ia sudah muak dengan ocehan perempuan yang menjadi lawan bicaranya itu.

"Itu rencana yang baik." Perempuan itu menarik napasnya dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan kasar. Perlahan, ia bangkit dari duduknya dan mensejajarkan tubuhnya dengan laki-laki bermanik biru laut. "Akan tetapi, aku merasa takut. Takut jika dia dan teman-temannya tidak akan mempercayai apa yang kita coba jelaskan kepada mereka nanti. Aku takut, jika mereka hanya menganggap semua perkataan kita sebagai lelucon, dan berujung pada kehancuran bumi ini. Selain itu, manusia bisa punah akibat serangan yang akan terjadi,"

"Itu yang coba ku katakan kepadamu! Aku juga takut akan semua hal yang kau takuti itu! Kau hanya memojokkanku tanpa memikirkan apa yang sedang ku pikirkan dan khawatirkan!" Laki-laki itu meninggikan nada bicaranya, napasnya memburu mengeluarkan segala amarah dan kekesalannya kepada perempuan yang menjadi lawan bicaranya.

"Oke, oke. Maafkan aku, aku yang salah karena terus memaksakanmu untuk memberi taunya secepat mungkin. Kau harus mengatakannya besok, ingat itu baik-baik! Aku akan ada bersamamu, aku akan membantumu untu mengatakannya," jelas perempuan itu. Perlahan ia menguncir rambutnya yang sebelumnya terurai panjang. Kakinya mulai bergerak ke depan hanya untuk beberapa langkah saja menjauhi laki-laki bermanik biru laut itu. Jari mungilnya menekan sebuah tombol di sebuah benda kecil yang sejak tadi berada di genggamannya.

Benda itu mulai mengeluarkan cahaya biru. Sebuah layar transparan terlihat dari benda itu dengan menampakkan sebuah peta dunia. Ia membesarkan layarnya dan memperkecil peta dunianya. Matanya membelalak terkejut, ia menepuk pundak laki-laki bermanik biru laut.

Laki-laki itu langsung menghampiri wanita itu. Ia menatap layar transparan dan air wajahnya menampakkan keterkejutannya. Ia menatap wanita yang berada di sebelahnya, mereka saling tatap untuk beberapa saat. Hingga pada akhirnya, wanita itu menekan tombol benda itu kembali dan layar transparan itu perlahan menghilang.

"London." []

***

belibet.

Beda Tempat (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang