1. Awal

218 22 7
                                    

Bangun, Nak!

Suara siapa itu? Apakah ibunya? Namun, bukankah dirinya sudah berangkat ke sekolah pagi tadi? Tidak mungkin ibunya sampai datang ke sekolah hanya untuk membangunkan dirinya, 'kan? Ibunya tidak seperhatian itu padanya.

Bangun!

Tanpa sadar, sebuah erangan lolos dari bibir pucat yang membuatnya tampak seperti orang penyakitan meski ia sebenarnya sangat jarang terkena demam. Dahinya mengerut, terganggu oleh suara yang tak kunjung berhenti menyuruhnya untuk bangun.

Berisik sekali!

Suara meja yang digebrak membuat seisi kelas itu mendadak hening. Bukan, bukan gadis itu yang memukul meja. Tubuhnya bahkan tersentak kaget karena meja yang menjadi tempat ia berkelana ke pulau kapuk bergetar menghasilkan bunyi memekakkan telinga.

"Eh?" Mata sipit dengan bulu mata tipis itu mengerjap bingung. Pandangan sedikit berkabut mengharuskan dirinya mengucek kedua bola matanya pelan.

Setelah mampu membersihkan kotoran di ujung matanya, gadis berseragam putih biru itu mampu melihat wajah seorang wanita yang sudah dimakan usia, terlihat dari kerutan yang ada di sana. Rona mukanya merah. Matanya melotot ganas.

Hem? Kenapa muka wanita ini terlihat sama seperti saat ibunya marah? Memangnya ia melakukan apa? Dan terlebih lagi, siapa wanita di depan—oh sialan!

"Mati aku!" gumam gadis itu. Dapat ia lihat tangan si wanita yang tak lain gurunya itu tengah memegang penggaris kayu yang biasa digunakan untuk papan tulis. Apakah penggaris itu yang beradu dengan mejanya tadi?

Ia meringis dalam hati. Memandang teman sekelasnya yang melempar sorot prihatin, lalu kembali lagi pada wanita di hadapannya.

"Oh, kamu mau mati?" guru yang terkenal karena sering memberi hukuman pada siswa itu bertanya dengan nada sinis. Penggaris kayu itu dipukulkan sangat pelan di telapak tangan si guru yang bebas, seolah mengancam dirinya meskipun tahu benda panjang itu tidak mungkin melayang padanya.

"Gak, Bu ...."

Bagaimana ini? Bagaimana?! Ia terus mengutuk kebiasaannya yang mudah sekali mengantuk di sembarang tempat. Bahkan sekarang pun matanya masih berat.

"Silpiranda! Berdiri di luar kelas! Kamu tidak boleh ikut pelajaran saya hari ini!"

Walaupun tidak keberatan dihukum seperti ini, tetap saja yang namanya hukuman adalah hukuman. Malas sekali Silpi mengerjakannya. Apa ia bolos saja ke kantin? Huh!

"Baik, Bu." Dengan langkah gontai, gadis bertubuh mungil itu melangkahkan—setengah menyeret—kakinya menuju luar kelas. Berdiri seraya menyender di dinding.

Jendela kelasnya berada beberapa sentimeter di atas kepalanya. Guru dan teman sekelasnya tidak akan tahu kalau badan Silpi sudah merosot dan duduk di lantai saat sedetik setelah punggungnya merasakan sensasi dingin, tidak peduli bila lantai keramik itu tidak terlalu bersih karena belum sempat disapu oleh petugas piket hari ini.

Melenguh lirih, Silpi menguap. Rasa kantuk kembali menyerang dirinya. Urung sudah niatnya ingin ke kantin tadi, tiba-tiba kakinya seperti tidak ada tulang.

Bersyukur kelasnya berada di ujung koridor lantai 2 sehingga tidak ada yang akan melihat seorang gadis yang terduduk tampak tidak berdaya—alias mengantuk—kecuali anak kelas sebelah dan teman kelasnya sendiri yang mungkin saja keluar entah untuk ke toilet atau membuang sampah.

"Tidur aja kali, ya?"

Secara perlahan, kelopak matanya menurun. Menghantarkan si pemilik ke bawah alam sadarnya. Kepalanya tertunduk, membuat rambut panjangnya menutupi wajah bak tirai hitam. Ia ... benar-benar tertidur lagi.

***

30 Agustus 2020

-zmr


Kisah Si Tukang TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang