11. Kenyataan

50 15 2
                                    

Dulu, mungkin Silpi tidak mengerti arti kata pelacur atau ucapan keluarganya tentang beban. Namun, setelah ia cukup besar, ia dapat memahami apa yang menjadi penyebab pertengkaran orang tuanya, mengapa ayahnya pergi dari rumah, dan apa maksud bahwa Silpi adalah beban untuk mereka. Ia tahu.

Meski begitu, Silpi masih tidak ingin percaya apa yang tengah terjadi di keluarganya. Yang ia ingat, ayahnya adalah seorang yang lembut dan sangat mencintai keluarga. Tidak mungkin pria itu melakukan hal ini.

Pikiran naifnya melarang Silpi untuk tidak memercayai ayahnya sendiri. Mengira kalau itu semua hanya kesalahpahaman dan pria itu akan kembali ke rumah dengan senyuman hangat yang biasa ia tampilkan.

Bulan berganti, tahun pun berganti, Silpi masih setia menunggu ayahnya. Namun, penantiannya tidak berbuah manis. Ia memang melihat ayahnya ketika tengah berkunjung di salah satu mal bersama Agan dan mama-nya. Iya, Silpi senang sekali melihat ayahnya baik-baik saja. Ingin menyapa, tetapi tiba-tiba saja seorang wanita lain menghampiri pria itu.

Dan yang membuat Silpi mengurungkan niatnya adalah ... senyum ayahnya yang tampak penuh kasih sayang. Hal kecil yang sangat Silpi rindukan. Tidak butuh rumus sulit untuk mengartikan kedekatan dua orang dewasa itu dan pertengkaran yang menyebabkan kepergian ayahnya beberapa tahun yang lalu.

Dengan cepat, Silpi mematikan tunas harapan yang ia rawat selama ini. Meski menyakitkan, melihat ayahnya senang dengan kehidupan sekarang sudah membuat Silpi cukup tenang.

Seharusnya begitu ....

Seharusnya, setelah Silpi bisa menerima kenyataan menyakitkan itu, ia bisa bertemu ayahnya dan bertindak biasa saja. Bersikap seolah-olah mereka hanya anak dan ayah yang sudah tak lama bertemu.

Namun, mengapa kaki Silpi malah melangkah mundur?  Di sudut hati terdalamnya, ia sadar bahwa dirinya sendiri tidak benar-benar menerima fakta yang ada.

Matanya memanas, dan air mata mengalir begitu saja. Meski Silpi menghapusnya berulang kali, aliran sungai kecil itu tak berhenti.

Bahkan setelah Silpi berbalik dan tidak jadi pulang ke rumahnya, lalu bersembunyi di tempat semula saat ia melihat Agan bersama Lian di taman bermain tadi, air mata itu tak kunjung berhenti. Malahan semakin deras.

Silpi tidak tahu berapa lama ia berdiam diri di tempat sempit---untuk orang lain---ini. Namun, yang jelas cukup lama. Pipinya sudah lengket karena bekas air mata. Dapat ia pastikan, wajahnya sangat berantakan.

"Sil, lo ngapain di sini?"

Tubuh Silpi terlonjak kaget. Ia menoleh dan melihat cowok berkacamata tengah menatap bingung padanya.

"Tomi?"

Gadis itu hanya berharap Tomi tidak akan menyadari matanya yang sembap.

"Sini lo. Ngapain di situ? Mau jadi anak kecil lagi?" Tomi mengibaskan tangannya, isyarat memanggil Silpi agar keluar dari sana.

Berdehem singkat, gadis itu mengusap kedua matanya untuk memastikan tidak ada jejak air mata lagi sebelum turun dan berdiri di hadapan Tomi dan seorang anak kecil yang tengah memandangnya dengan tatapan polos.

Cowok itu mengangkat sebelas alis tebalnya. "Lo mau main perosotan itu tadi?"

Mendengkus, gadis itu pun menjawab, "Ya, gaklah." Padahal dalam hati ia merutuki pemilihan tempat pelariannya.

"Terus?"

"Eh, ini adek lo, ya?" Silpi cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.

Walaupun Tomi sadar, ia memilih berhenti. Ia tidak ingin memaksa. Bukan urusannya juga, bukan? Percuma juga bila ia terus bertanya, tidak akan dijawab jika Silpi tak ingin.

"Iya, dia adek gue."

"Lucunya. Kalian mau main di sini, ya?" Silpi mencubit pipi bocah lelaki itu.

"Iya. Tiap sore nih bocah minta dianterin ke sini." Tomi melepaskan pegangan tangannya, lalu membiarkan adiknya berlarian ke sana kemari memainkan wahana.

Sorot Tomi jatuh pada seragam putih biru yang masih dipakai Silpi. "Lo belum pulang? Padahal gue mau nanya si Agan ke mana, WA-nya gak aktif. Gue pengen main sama dia."

Silpi menggigit bibir bawahnya, teringat kembali kebohongan Agan. "I-iya, aku belum pulang."

"Kenapa?"

Gigitannya semakin kuat. "Karena panas. Iya, karena panas. Makanya gue pulang pas udah sore."

Gadis ini ... tidak pandai berbohong. Tomi sudah hapal kebiasaan Silpi. Banyak hal janggal yang ia temukan dari penjelasan tersebut. Namun, Tomi memilih bungkam. Meski begitu ....

"Lo bisa ngandalin gue." Tomi menyorot datar Silpi yang terlihat terkejut.

"Apa?"

"Selain Agan, gue juga bisa lo mintai tolong."

Gadis ini seperti membutuhkan pertolongan.

***

11 September 2020

-zmr

Kisah Si Tukang TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang