20. Bersamamu

33 10 1
                                    

Silpi masih mencoba mencerna apa yang tengah terjadi sekarang ini. Otaknya seolah menolak untuk mengerti. Keningnya mengerut dalam dengan mata yang bergantian memandang ibu dan ayahnya. Bibirnya bergetar hanya untuk berucap, "Apa maksudnya?"

"Dia ...." Dagu Bu Laila menunjuk Pak Dahlan. "Ingin membawamu bersamanya."

Kali ini, pandangan Silpi sepenuhnya tertuju pada sang ayah. Pria itu tersenyum dengan sorot teduh. Senyum itu ... kini menjadi memuakkan di mata Silpi.

"Iya, benar. Ayah ingin kamu ikut sama ayah, ya? Ayah rindu banget sama Silpi. Tinggal sama ayah, ya?"

Jika saja ... jika saja ucapan itu dikatakan padanya beberapa tahun silam, saat Silpi masih sangat berharap dijemput oleh ayahnya, saat Silpi masih belum terbiasa dengan perlakuan ibunya, saat Silpi belum melihat kebahagiaan ayahnya tanpa mereka! Mungkin saja tanpa basa-basi Silpi akan menerima ajakan ini.

Sekarang? Harapan Silpi sudah hancur, hatinya sudah terlalu kebas sampai mati rasa, ia sudah beradaptasi dengan segala tingkah pilih kasih ibunya, dan sudah tidak mempermasalahkan hal ini. Silpi sudah berusaha menerima semuanya.

Lantas, ayahnya datang di saat Silpi sudah bisa berdiri menopang dirinya sendiri? Jangan bercanda.

Laila, aku ingin mengambil sesuatu yang ada padamu sekarang. Aku akan segera menemui kalian.

"Ah, apakah sesuatu yang Ayah maksudkan di surat itu aku?" Silpi teringat dua kalimat membingungkan yang dituliskan ayahnya di surat waktu itu. "Ayah pikir aku barang?"

Wajah ayahnya tampak terkejut. Ekspresinya seolah membenarkan pertanyaan Silpi, entah yang pertama atau yang kedua, atau mungkin malah keduanya?

"Iya, maksud ayah memang kamu, tapi kamu bukan barang." Nada ayahnya tampak tegas. Namun, itu sia-sia bagi Silpi.

Ia tersenyum miris. "Tapi dari kalimat Ayah, Ayah buat aku jadi barang."

Mulut Pak Dahlan terkatup rapat.

Silpi menoleh ke samping, pada ibunya. "Ibu, apa tidak keberatan aku pergi bersama ayah?"

Sebelum mulut ibunya terbuka untuk menjawab, Silpi kembali berujar dengan nada pahit, "Ah, Ibu tidak mungkin keberatan, ya. Malah sangat senang anak yang memiliki wajah seperti mantan suaminya pergi dari rumah ini. Ibu pasti muak sekali melihat aku berkeliaran di rumah ini, ya?"

Nyatanya, Silpi menyadari hal ini sejak lama. Meski awalnya Silpi menolak mempercayai hal itu, sorot kebencian yang sering tak sengaja ia tangkap dari ibunya, membuat Silpi yakin. Memangnya alasan apa lagi selain wajahnya ini?

Silpi merupakan anak yang pendiam dan tidak banyak tingkah. Ia sudah berusaha menjadi anak baik yang tak menuntut banyak hal. Saat ia menginginkan sesuatu, Silpi mati-matian menekan keinginannya itu. Ketika Silpi membutuhkan sesuatu, ia selalu berpikir berkali-kali apakah harus meminta atau tidak. Walaupun akhirnya Silpi tidak melakukannya. Ia selalu menunggu dan menerima apa saja yang diberikan padanya tanpa terkecuali.

Di sekolah, Silpi menjadi salah satu yang terpandai di kelasnya. Nilainya selalu stabil. Ibunya tidak pernah dipanggil ke sekolah karena Silpi yang melanggar aturan---paling-paling Silpi dihukum ringan karena tidur di kelas, tidak perlu sampai memanggil orang tua. Saat pembagian rapor yang membutuhkan kehadiran orang tua, Silpi mencoba meminta pada wali kelasnya agar boleh mengambil sendiri karena Silpi tahu ibunya pasti akan mengambil rapor Raka.

Silpi sudah berusaha untuk tidak menjadi beban seperti yang mereka katakan. Ia sudah melakukannya.

Mengepalkan tangannya hingga kuku rasanya menembus kulitnya, Silpi berkata lagi, "Apa yang selama ini kulakukan sia-sia? Aku sudah berusaha gak nyusahin Ibu, tapi bahkan Ibu gak pernah liat aku sebagai anak Ibu, 'kan? Anak Ibu cuma Abang Raka, aku bukan."

"Dan Ayah, Ayah udah ninggalin aku dulu, gak inget? Ayah yang udah ninggalin Silpi di sini!" Napas Silpi menderu ketika tanpa sadar nada suaranya meninggi.

"Waktu aku nanya Ayah mau ke mana, Ayah inget apa yang Ayah bilang? Ayah ninggalin aku, Yah, inget itu!"

Kedua orang dewasa itu membisu, dan Silpi menganggap hal itu sebagai bentuk pembenaran. Mereka tidak menyangkal atau Silpi yang tidak memberi mereka kesempatan? Yang mana pun, Silpi sudah tidak peduli lagi.

Gadis itu bangkit dengan wajah dingin. "Aku bakal pergi ke rumah nenek kalau kalian penasaran, tapi aku bahkan ragu kalian penasaran. Syukur-syukur kalau aku mati di tengah jalan, kalian bisa tenang karena gak perlu liat wajah aku lagi."

Gadis itu pun melangkahkan kakinya, memberikan punggung pada orang tuanya. Ia butuh ketenangan dan bersama neneknya adalah satu-satunya pilihan yang dapat ia ambil sekarang. Kali ini, ia lelah bersandiwara.

***

24 September 2020

-zmr

Kisah Si Tukang TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang