18. Boleh?

9.8K 1.6K 50
                                    

Diana mengetukkan ujung jemarinya ke atas pahanya selagi menunggu Juna yang tengah berpikir untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang baru tiga menit lalu Diana lontarkan. Iya, Diana baru saja menyampaikan pada Juna kalau tim seksi acara sekolahnya mau berkunjung untuk rapat di sini dan meminta kesediaan Juna untuk ikut membahas soal acara seminar nanti.

"Hmm, kalau weekday sih bisa aja kayaknya," ujar Juna pada akhirnya. "Tapi hari apa dulu nih tepatnya?" tanyanya kemudian.

"Kira-kira kamu free hari apa? Nanti kami yang menyesuaikan."

"Kamis."

Diana menganggukkan kepalanya. "Oke, Kamis. Ya udah berarti fix kamu bisa ya?" ujarnya memastikan walau dalam hati sebenarnya Diana berharap agar Juna menolak saja. Bukan apa-apa, mengingat tabiat Juna yang suka bikin ulah rasanya Diana jadi takut kalau nanti kelakuan pria itu bisa menimbulkan gosip baru lagi tentang hubungan mereka. Sudah cukup Inge, Meisya, Tedeora dan Damar yang salah paham. Mulut Diana bisa pegal jika terus-terusan memberi klarifikasi pada orang-orang.

"Kalian rapat di ruangan saya aja nanti biar lebih nyaman," usul Juna.

Mendengar ide itu, Diana sontak langsung menolaknya. "Gak perlu. Kita cuma berlima kok, bisa di pojokan aja atau gak di luar."

"Nanti banyak gangguan dong, Na, kalau gitu. Ntar kalian gak fokus, gimana?"

"Kamu mau kita fokus?" tanya Diana memastikan dan Juna mengangguk mengiyakan. "Cukup dengan kamu jangan bicara atau melakukan hal aneh yang mengganggu, maka kita pasti fokus dan rapatnya akan cepat selesai," tegas Diana.

Juna tertawa mendengarnya. "Yang mengganggu kayak gimana sih maksud kamu, Na?" tanyanya meski ia sebenarnya paham betul apa yang dimaksud Diana. Iya, itu artinya Diana mau Juna jaga sikap dan tutup mulut soal hubungannya dengan Diana di luar dari acara seminar.

"Jangan berlagak gak tahu," cibir Diana.

Masih dengan tawa yang menghiasi bibirnya, Juna menganggukkan kepalanya. "Oke, oke, saya ngalah. Saya janji gak akan bertingkah yang aneh-aneh," ujarnya.

Diana mengembuskan napas lega. Setidaknya Juna sudah berjanji dan Diana yakin Juna pasti akan menepatinya sebab ia tahu Juna itu cuma resek tapi gak brengsek.

"Kira-kira jam berapa, Na? Kalau boleh request sih jangan terlalu sore."

Diana berpikir sejenak. Kalau soal itu ia tak bisa memutuskannya sendiri. "Nanti saya tanyakan dulu dan kalau sudah ada jawabannya saya kabari kamu."

Juna mengangguk mengiyakan. "Oke," ucapnya seraya menyesap strawberry milkshake miliknya.

Diana menatap gelas milkshake Juna yang isinya telah tandas itu. Kalau Diana perhatikan lagi rasanya ia belum pernah melihat Juna meminum kopi padahal ada beragam jenis minuman olahan kopi yang disediakan di coffee shop ini. Bahkan variannya lebih mendominasi daripada minuman lainnya. Apa mungkin karena lelaki itu pemilik coffee shop makanya dia sudah bosan dengan yang namanya kopi?

"Kenapa sih? Kamu mau cobain strawberry milkshake? Nanti saya bilangin ke Haikal," tegur Juna yang menyadari kalau Diana tak juga memalingkan pandangannya dari gelas bekas minumannya.

"Eh? Enggak. Sudah kenyang, makasih," tolak Diana.

Juna menaikkan sebelah alisnya, "Terus kenapa daritadi lihatin gelas saya? Daripada kamu lihatin gelas kosong, mending kamu lihatin saya."

Diana memutar bola matanya jengah. Diana jadi ingin tahu sebenarnya Tuhan menciptakan Juna dengan tingkat percaya diri berapa kali lipat sih? Kok ya kepercayaan dirinya berlebihan banget gitu loh.

"Saya boleh tanya sesuatu?" tanya Diana dan Juna menganggukkan kepalanya.

"Kenapa kamu tertarik buka coffee shop?"

"Yah, kirain saya kamu mau tanya hati saya kosong atau enggak," ujar Juna yang tampak kecewa dengan pertanyaan Diana.

Diana bergidik pelan mendengar keluhan Juna. Idih! Penting banget kali? batinnya.

"Hmm, saya buka coffee shop ini karena Haikal─teman saya, suka banget meracik minuman terutama kopi. Minuman buatan dia tuh enak banget dan beda dari yang lainnya. Jadi, saya ajak aja Haikal untuk bisnis bareng," terang Juna.

"Kamu sendiri suka kopi juga?" tanya Diana lagi dan Juna menggelengkan kepalanya.

"Enggak, saya gak bisa minum kopi. Minum segelas kecil aja udah bagus, itu pun gak bisa setiap hari. Lambung saya lumayan sensitif sama kopi," ujarnya yang membuat dahi Diana mengerut.

"Kenapa kamu buka coffee shop kalau kamu sendiri bahkan gak bisa minum kopi? Jadi, kamu buka coffee shop ini benar-benar karena teman kamu aja?" Tiap kali bicara dengan Juna entah kenapa rasa penasaran Diana bukannya terjawab justru malah bertambah.

"Why not? Saya punya modal dan dia punya keterampilan juga tenaga. Bukannya itu sebuah kombinasi yang bagus? Soal saya gak bisa minum kopi ya itu urusan saya, bukan berarti dengan begitu saya hanya boleh kerja sama dengan orang-orang yang gak bisa minum kopi juga ya kan? Berteman sama yang sefrekuensi memang bikin nyaman, tapi berkawan dengan yang beda frekuensi akan membuat kita tambah pengalaman, Na."

Diana terdiam. Otaknya mencoba mencerna kata-kata Juna dan pada akhirnya Diana pun menyetujuinya. Diana juga merasakan hal itu dengan Juna. Juna dan Diana sama sekali gak sefrekuensi, tapi Diana akui kalau bersama pria itu membuat pengalamannya bertambah. Sebelumnya mana pernah Diana melihat proses shooting? Tapi karena bersama Juna, Diana jadi bisa melihat repotnya persiapan di balik layar. Gak sefrekuensi bukan berarti gak bisa berkolaborasi.

"Lagipula saya suka orang-orang yang punya keseriusan mendalami suatu pekerjaan seperti Haikal dan... kamu."

Kalau biasanya mendengar kata-kata seperti itu keluar dari mulut Juna membuat Diana jengah, kali ini kenapa Diana merasa sedikit salah tingkah ya? Apalagi ditambah dengan tatapan mata Juna yang seolah menegaskan kalau ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya membuat Diana jadi tak sanggup untuk membalas tatapannya.

Diana mengalihkan pandangannya ke arah lain sebelum kemudian memasukkan tablet di meja ke dalam tasnya. "Ehm, sudah sore nih saya balik dulu. Nanti saya kabari lagi ya jamnya untuk hari Kamis," ujarnya seraya menarik ritsleting tasnya lalu meregangkan talinya untuk ia sampirkan di bahu.

"Buru-buru banget? Mumpung sudah sore gak sekalian lihat sunset, Na?" tanya Juna. Iya, lelaki itu sedang berupaya menahan Diana untuk lebih lama bersamanya.

"No, thanks, makin sore makin macet. Lagian saya gak terlalu suka sunset."

Mendengar pernyataan Diana membuat Juna terkejut. "Loh kenapa? Sunset kan indah, Na."

Gadis itu menaikkan kedua bahunya bersamaan. "I dunno, rasanya terlalu melankolis aja gitu merhatiin matahari tenggelam. Saya lebih suka sunrise. Kayak lebih ada rasa semangat aja gitu menyaksikan matahari terbit daripada tenggelam. Tapi sayangnya susah lihat matahari terbit apalagi di kawasan kota begini."

Juna terdiam. Dalam hati ia takjub dengan betapa bertolakbelakangnya gadis itu dengan dirinya. Juna suka banget sunset. Kalau ada kesempatan dia selalu meluangkan waktu mencari tempat terbaik untuk melihat matahari tenggelam. Padahal tadinya Juna ada niatan mau mengajak Diana melihat matahari terbenam, tapi sepertinya Juna harus memendam keinginannya itu yang belum bisa terwujud sekarang. Namun meski Juna tahu diantara dirinya dan Diana sangat bertolak belakang, entah kenapa ia tetap tak bisa berhenti untuk mengenal Diana lebih jauh. Juna jadi semakin ingin mengetahui apa saja yang Diana suka ataupun tidak sukai.

"Sudah ya, saya balik duluan. Nanti file presentasi kamu yang sudah diedit saya kirim e-mail," pamit Diana seraya berdiri dan hendak melangkah meninggalkan coffee shop namun pertanyaan yang terlontar dari mulut Juna membuat Diana menahan langkahnya.

"Na, boleh saya ajak kamu jalan di luar dari urusan pekerjaan?"

***

To be continue

DIVERSITY [DaMay Sister's Story]Where stories live. Discover now