HTN : 4

34.2K 6K 1K
                                    

Wanita itu bergulingan tak jelas seperti nasib diri yang berstatus istri tapi malah tetap sendiri. Sungguh tak jelas, cemberut sambil sesekali menggigiti bantal, lalu bangun untuk duduk di sisi ranjang dan kembali bergulingan.

Tak jelas sekali hidupnya.

Sudah dibuat kacau oleh suami, pertemuan dengan Narendra siang tadi membuatnya kian kesal karena pria itu menolak permintaannya yang ingin ikut ke Bali.

Dia tak meminta banyak. Hanya diajak pergi bersama menuju bandara. Membantunya agar bisa masuk ke pesawat dengan selamat. Lalu turun dan menemukan taksi yang tepat sebelum berpisah dan dia menemukan hotelnya sendiri tanpa merepotkan Narendra lagi.

Seumur hidup ia tak pernah bepergian menggunakan pesawat terbang selain naik wahana permainan di Pasar Malam berbentuk pesawat terbang dan itu saat ia kecil dulu. Ditemani pembantu karena orangtua dan adik-adiknya pergi ke mall untuk mengunjungi wahana permainan yang jauh lebih bersih dan modern.

Nara takut jika nanti ia salah naik pesawat dan tak bisa kembali lagi di sini, jika pesawat yang ditumpangi bergerak ke luar negeri. Dia kan tak bisa bahasa Inggris.

Kalau hanya di Bali saja dia fasih berbahasa Indonesia. Dijamin tak akan nyasar. Jika salah jalan tinggal buka Google Maps atau pesan taksi dan beres.

Tapi Narendra pelit.

Mencebik kesal. Nara bangkit dari ranjang untuk yang ke sekian kali. Ia menapakkan kaki pada lantai yang dingin, lalu bergerak menuju pintu kamar untuk melongokkan wajah keluar.

Sepi.

Mbok Sul dan pak Sul pasti sudah tidur. Asep si pengurus taman sekaligus penjaga gerbang tentunya ada di luar, tidur di pos samping gerbang yang dibuat senyaman mungkin agar tak terganggu oleh nyamuk saat beristirahat. Tapi sialnya suka tak terganggu juga oleh gerak mencurigakan dari luar.

Mendesah, Nara kembali ke ranjang.

Sungguh tak ada hal yang bisa ia kerjakan untuk mengusir sepi juga kesal karena Narendra.

Membuka ponsel, bibirnya mengerucut kesal saat chatnya di grup tak ada yang menanggapi.

Nara kembali berbaring dan ia buka ruang obrolan dengan adiknya, si bungsu yang paling mengerti dirinya. Ingin mengetikan pesan, meminta teman karena ia tak bisa tidur. Kemudian pesan yang sudah dikirim segera ia hapus dan ponsel dikembalikan ke nakas.

Adiknya pasti istirahat tengah malam begini.

Mengurungkan niatnya mengirimkan pesan pada si bungsu yang berusia sembilan belas tahun, Nara meraih guling di sisi kiri lantas memeluknya erat.

Tak ada teman di tengah malam begini, di saat seharusnya ia tidur bersama sang suami.

"Aah! Nara apa sih! Nggak usah mikir aneh-aneh!"

Tiba-tiba berkicau, Nara melempar guling dari dekapannya lalu mengacak rambut sebelum bangkit dengan semangat kala mendengar nada pesan dari ponselnya.

Berharap ia mendapatkan teman mengobrol malam ini, pesan dari seorang pria yang membuatnya kesal sejak tadi membuat Nara berhenti berkedip hanya untuk memastikan jika ia tak salah membaca.

"Ke Bali tanggal sembilan?" Ia membeo.

Langsung menggigit bibir bawahnya sebelum mendesah sakit, teriakan riang menyusul kemudian. Nara bergembira penuh perasaan tak menyangka. "Deeaal!" Wanita itu berdiri di atas ranjang dan langsung meloncat kegirangan. "Deaal deaal deeaal!" teriaknya bak balita yang kegirangan mendapatkan gulali di Pasar Malam setelah berbulan-bulan tak diajak jajan. Ia bersorak di tengah malam tak peduli mbok Sul akan mendengar dan panik ketakutan karena mengira pekikannya adalah pekikan setan.

Hold The NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang