18# Pintu Ghaib

31 11 1
                                    

Sepertinya hari sudah beranjak pagi ketika mereka semua terbangun dari tidur. Pertama kali yang terbangun adalah Twi, ia mulai mempersiapkan sesuatu yang bisa dimakan untuk mengisi energi mereka yang terkuras habis. Lalu, tanpa sengaja Akara yang terbangun melihat Twi yang sedang memanaskan air diatas kompor kecil.

Ia mendekati Twi yang meringkuk kedinginan. "Bagaimana bisa kamu menghidupkan api ditempat seperti ini?" tanya Akara yang langsung menggagetkan Twi.

Twi hanya diam tak bersuara. "Mengapa harus orang ini yang bangun duluan," ucap Twi dalam hati.

"Apa kamu baik-baik saja? Ku lihat luka mu cukup menyisahkan goresan." Akara kembali bersuara.

Twi juga tidak tahu jika sebenarnya Akara sedikit merasa tidak ingin terjebak dengan situasi seperti ini.

"Aku baik-baik saja." Twi terdiam. "Te-terima kasih karena telah membantuku."

Akara hanya tersenyum canggung. Baru kali ini dia merasa tersenyum begitu sulit. "Oh iya, nama ku Akara Putra Nigoro. Kamu bisa memanggilku Akara." Akara langsung menutup mulutnya karena telah sengaja menyebutkan nama panjangnya pada sembarang orang.

"Twila, kamu bisa memanggilku dengan sebutan Twi. Hmm.. apa kamu orang Indonesia?" Twi mengutuk dirinya karena bertanya hal yang tidak masuk akal.

Akara terkekeh. "Apa wajah ku tidak kelihatan seperti orang asing? Hehehe.. iya aku orang Indo campuran Amerika, sekarang aku tinggal di Amerika bersama orangtuaku."

"Lalu bagaimana mungkin kamu bisa disini?" Twi bertanya heran.

"Aku kesini menggunakan ruang demensi yang diciptakan oleh kakek ku." Akara menjelaskan singkat. Twi terlihat bingung dengan apa yang baru saja ia dengarkan.

"Kau pasti merasa bingung, kau tahu ruang demensi itu sama dengan pintu kemana saja. Tetapi yang menjadi pembedanya ruang demensi tidak bisa menentukan tempat yang ingin kita kunjungi." Akara menatap Twi yang mulai mengerti.

Suara air yang telah mendidih membuat percakapan mereka terhenti, dan kebetulan Erin dan Lie juga telah bangun dari tidurnya. Setelah itu Twi menuangkan air ke dalam Mie yang telah ia siapkan. Kalian jangan merasa heran dengan peralatan yang mereka punyai karena sebelum mereka pergi, mereka telah menyiapkan semua keperluan yang sangat penting.

Setelah Lie dan Erin selesai mencuci muka dengan air seadanya, mereka berempat mulai memakan apa yang telah Twi siapkan. Rasanya seperti sedang berkemah diacara sekolah. Mereka makan sambil mengobrol layaknya sedang berkemah sungguhan.

Selesai makan, mereka membersihkan lagi tempat itu seperti sedia kala. Itu disebabkan, jangan sampai ada jejak mereka yang tertinggal disini. Kemudian mereka mulai melanjutkan perjalanan untuk menemukan akhir dari lorong ini.

"Apa kita akan berjalan dilorong yang satunya?" Lie bertanya.

"Kita harus mengikuti jalan yang tersisa," ujar Twi dengan rasa yakin.

Ketika mereka akan berjalan tiba-tiba Akara menghentikan mereka. "Apa boleh aku memimpin jalan? Setidaknya jika ada bahaya kalian tidak akan terluka," ucapnya.

Erin dan Lie menatap Twi meminta persetujuan. "Silahkan jika kamu tidak merasa keberatan." Twi memutuskan untuk menyetujuinya, lagi pula itu hal yang wajar jika seorang pria ingin melindungi wanita.

***

Setengah dari lorong berhasil mereka lewati tanpa kendala. Sejauh ini lorong yang sedang mereka telusuri ini adalah lorong yang paling aman, tapi jangan sampai lengah dengan keheningan.

"Ku rasa ada yang aneh dengan lorong ini," ucap Lie tiba-tiba.

"Aku juga merasa demikian." Erin ikut bersuara.

"Sejauh ini lumayan aman kok," jawab Akara meyakinkan.

"Bagaimana kamu bisa seyakiin itu? Twi bertanya penasaran.

Akara menarik nafas lalu menoleh ke arah belakang. "Aku mempunyai system kordinator yang memberi tahu jika ada tanda bahaya." Akara menunjukan sesuatu yang mirip dengan jam yang sedang ia kenakan.

"Pantasan." Erin bergumam pelan tapi itu masih bisa didengar oleh Akara.

"Sepertinya kita harus segera waspada-sesuatu tengah menunggu kita didepan sana." Akara memperingatkan. Twi, Erin dan Lie bersiaga dengan menyiapkan diri.
Mereka berjalan mendekati ujung lorong. Suara hening pun tercipta karena mereka tengah berjaga-jaga untuk menghindari bahaya.
Mereka tiba diujung lorong dengan menghela nafas lega.

"Puhh, kurasa alat mu itu rusak, Akara." Erin mencetus begitu saja.

Namun, belum sempat Akara memperingkatkan jangan sampai lengkah-suara riuh datang dari arah depan. Ternyata itu segerombolan kelelawar hitan yang ukurannya terbilang besar.

"Menunduk!" Akara berteriak kencang.

Suara degupan jantung dan nafas yang memburu menjadi alarm bagi mereka. Tapi untungnya kelelawar itu tidak menyerang mereka.

Akara menghembuskan nafas. "Sudah ku bilang jangan sampai lengah."
Erin berdecak pelan. "Hanya kelelawar, memang apa bahayanya?"

"Itu bahaya, Rin! Jangan kamu anggap remeh kelelawar." Lie menyambar dengan cepat.

Ketika mereka bertiga tengah sibuk berdebat, Twi melangkah ke arah depan. Ia memandang heran ke arah dinding yang terbuka lebar seperti sebuah gerbang.

"Kalian semua kesini!" Twi berseru. Mereka bertiga berhenti berdebat dan mulai mendekati Twi.

Lie sedikit kaget dengan apa yang ia lihat. Erin tersenyum seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apa ini, Twi?" Lie bersuara.

"Sebuah jalan keluar yang kita cari, Lie!" Erin bersorak senang.
Sebelum Twi atau Akara bersuara. Erin berlari dengan cepat melewati dinding itu dan tubuhnya seketika menghilang.

"Erin!" Twi berteriak kencang.

"Dasar ceroboh," cetus Akara.
Tanpa menunggu lama, Twi langsung menyusul Erin melewati dinding dan begitu pula dengan yang lainnya.

***

Mereka berempat telah selesai melewati satu jalan yang menghubungkan antara lorong dengan gerbang ghaib. Tidak heran mengapa jalan itu disebut dengan Lorong Waktu karena jalan yang mereka lewati disebut lorong dan dinding terakhir yang mereka lewati adalah gerbang ghaib penghubung waktu.

Disaat Twi berhasil keluar dengan selamat, ia langsung menemukan Erin yang sedang menatap sesuatu.

"Dasar cerobah, bagaimana jika apa yang kamu lewati itu bahaya!" Twi langsung mengomel tanpa jeda.

"Stop mengomelnya,Twi. Coba kamu lihat apa yang ada dihadapan kita."
Ketika mereka berdua tengah asik menatap ke depan, Lie dan Akara pun tiba. Mereka berdua ikut terperanjat kaget dengan pemandangan yang menyambut mereka.

"Waah.. tempat apa sebenarnya ini?" Lie bertanya kagum.

"Dinding ini seperti gerbang ghaib yang menghubungkan dua tempat berbeda," ucap Akara dengan antusias.

Twi yang tersadar dari kekagumannya pun langsung berseru kaget. "Coba lihat handphone kalian masing-masing!"

"Ada apa,Twi?" Erin menoleh. Lie dan Akara mengeluarkan handphone mereka.

"Habis baterai, Twi." Lie menggeleng pasrah.

"Handpone ku tidak berfungsi," jawab Erin cepat.

"Kita ada ditahun tujuh puluhan!" seru Twi dan Akara serempak.

Mereka berempat terdiam menatap satu sama lain. Ada guratan tidak percaya dari wajah mereka. Mereka hanya diam-berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Kita harus cepat bergegas dari sini karena akan ada bahaya sebentar lagi!" Akara berseru kencang. Twi, Erin dan Lie langsung berlari mengikuti langkah Akara.

____________________________

Bersambung.....

#untuk hari ini sekian dulu.
#jangan lupa tunggu update-an selanjutnya yaa...

Salam penulis

Lorong Waktu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang