Prolog

311 94 542
                                    

Tubuh kecil itu terbaring lemah di ranjang kamarnya dengan air mata yang terus keluar, begitupun dengan punggungnya, darah mengalir.

Di belakangnya ada pria paruh baya yang tengah mengatur napas memburunya sambil terus mencengkram ikat pinggang dengan percikan darah di ujung besinya.

"Berani kamu bikin masalah?!" Dia —Robert— menarik lengan bocah itu.

"Ngga ... pah ..." jawab bocah itu dengan tangis sesenggukan.

"Udah, dia berantem karena jagain adiknya, kan kamu yang selalu bilang buat jagain Alan." Wanita itu —Carla— menarik pelan tubuh Robert.

"Jagain ngga harus sampe berantem!" bentak Robert pada bocah itu.

Carla menggeleng, lalu mulai menarik jauh tubuh sang suami dari anaknya. "Udah, biar aku aja." ujar Carla, memberinya isyarat untuk keluar dari kamar.

Robert menurut, tubuhnya juga merasa lelah karena harus menghadiri panggilan dari wali kelas anak itu, padahal saat itu ia tengah bekerja.

Sekeluarnya Robert dari kamar membuat Carla lantas bergerak menghampiri anak yang masih menangis itu.

"Lan ..." panggil wanita itu dengan lembut. Namun anak itu tetap pada posisinya.

"Arlan Le—" panggilnya lagi, namun sesuatu menghentikannya.

"Maaf, mah ..." Anak itu —Arlan— mendekat dengan perlahan, menahan perih dari punggungnya.

Carla tidak menjawab, tetapi langsung bergerak untuk menghapus air mata sang anak, ia tersenyum, setelahnya mulai mengobati tubuh Arlan. Netra mereka bertemu sebentar, netra hitam dan biru tua itu bertemu dengan dalam, sama-sama memberikan perasaan sakit yang berbeda.

Tanggal 31 Oktober ini hari ulang tahunnya.
Ini hari pertamanya, hari pertama Arlan akan memulai kehidupan nerakanya. Hari di mana dirinya yang akan selalu disalahkan atas semua permasalahan yang terjadi, hari di mana ia mulai diberikan tugas untuk menjaga adik-adiknya bahkan menghidupi keluarga, dengan diberi embel-embel dialah sang kakak.

***

Bertambahnya hari, bertambah pula kebencian Robert kepada Arlan. Kebangkrutan terhadap perusahaan Robert akhirnya terjadi setelah berusaha mati-matian ia jaga reputasinya.

Robert bilang, "ini salah kamu!" Pada Arlan yang saat itu juga dikeluarkan dari SMP nya.

Pukulan hingga tendangan mulai Robert berikan pada Arlan kecil, tidak peduli dengan kondisi Arlan yang semakin hari semakin lemah.

"Bisa-bisanya kamu sebar fitnah kayak gitu!?" Robert mencengkram kerah seragam Arlan, "MAU KAMU ITU APA?!" bentaknya.

Arlan tak menjawab, tetap menunduk menahan tangis dan sakit di hatinya.

Robert menarik paksa Arlan keluar dari rumah, membawanya menuju jalanan yang lumayan sepi.

"N-ngapain ... pah?" tanya Arlan. Hatinya berdegup kencang saat ini, entah kenapa pikirannya berjalan kemana-mana saat melihat netra sang ayah yang menatap tajam ketika mobil melintasi mereka. Cengkraman kuat di lengannya berhasil membuat Arlan kecil merintih dan memohon untuk dilepaskan, belum selesai ia mengeluh, tubuhnya secara tiba-tiba didorong tepat ketika salah satu mobil sedang melaju dengan cepat ke depan mereka.

Semua terjadi begitu cepat, yang paling Arlan kecil ingat saat itu adalah Robert sudah hilang dari tempat asal mereka berdiri.

Satu pria turun dari mobil dengan gelisah, netranya tak berhenti bergerak memandangi tiap sisi jalanan ini. "Kok kamu bisa di situ, sih!?" ucap pria itu dengan nada bergetar sembari membentak.

FlowlessWhere stories live. Discover now