Bab 2

3.3K 171 20
                                    

2 Juni 2011

Nindia

Memasuki tahun keduanya di Harvard Law School, Nindia kini menyandang status sebagai 2L dan diwajibkan untuk mengikuti berbagai kelas yang jadwalnya kian sibuk jika dibandingkan dengan tahun pertamanya. Gadis itu duduk di dalam kamarnya di asrama perempuan, menekuni dokumen legal kasus hukum yang menjadi studi kasus di mata kuliah Administrative Law sambil mengetik artikel review hukum yang menjadi tugas tengah semester.

Gadis itu menguap kecil, sedikit mengantuk karena kemarin malam ia hampir tidak tidur karena membantu profesornya melakukan persiapan untuk mock court scene atau drama pengadilan yang akan digunakan olehnya mengajar kelas junior yang satu tahun di bawahnya. Tidak semua anak kelas 2L diberi kesempatan untuk memimpin jalannya sidang pura-pura. Nindia telah membangun rapor selama tahun pertamanya dengan semua profesornya dan memastikan bahwa mereka mengenal namanya—Nindia Adriyani—dan mendengar kiprahnya.

Kalau punggungnya terasa pegal dan matanya capek, Nindia akan sengaja memandangi fotonya dan ibu yang terpajang di dalam pigura, satu-satunya benda sentimental yang ia bawa dari Indonesia. Ibunya itu telah bekerja keras di sepanjang usia Nindia, membesarkan gadis itu seorang diri tanpa mematikan harapan dan mimpi Nindia untuk terus belajar. Oh, Nindia sangat suka belajar, sejak SD, SMP, hingga SMA ia selalu ranking satu di kelas. Tekun dan pendiam adalah ciri khas Nindia dan bagaimana kawan-kawan semasa sekolah mengenalinya.

Malam itu matanya terasa lelah, mengernyit dari balik kacamata silinder yang dipakainya. Huruf-huruf berukuran ekstra kecil di dalam artikel itu kini seperti berputar. Nindia bangkit, menyalakan ceret listrik, menyeduh teh chamomile untuk teman lembur malam ini. Sambil menunggu suhu tehnya sedikit turun, Nindia mengambil bingkai foto itu lalu meraba permukaannya.

Suara ketukan pelan yang nyaris tidak terdengar membuat gadis itu menoleh cepat ke arah jendela. Betapa kagetnya Nindia mendapati sebuah tangan mengetuk pelan dan setelah beberapa saat wajah anak majikannya, Wildan Kusuma muncul, melongok dengan senyum miring dan lesung pipinya yang membuat cewek-cewek seangkatan, setahun di bawah dan setahun di atas, dan kadang mahasiswa jurusan lain tak henti bergosip.

'Cowok asia yang tinggi, ganteng, manis itu...'

'Senyumnya itu alamak... sesuai sama namanya, wild-an...'

Tiba-tiba Nindia ingat kalau kamarnya ini ada di lantai dua, buru-buru ia berlari ke arah jendela dan membuka engselnya.

"Mas Wildan..."

Perkataannya terhenti oleh telunjuk pria itu yang kini menempel di hidung dan bibirnya, membuat Nindia mengerjabkan mata beberapa kali, kaget.

"Sssh," bisik Wildan.

Pria itu melompat masuk ke dalam kamar tanpa diundang. Nindia melongok keluar jendela, merasa heran bagaimana caranya Wildan bisa naik ke atas. Di sepanjang dinding memang terdapat pohon rambat yang barangkali memudahkan untuk dipanjat. Namun tetap saja berbahaya, entah apa hukuman yang akan diterimanya kalau sampai ketahuan masuk ke dalam asrama perempuan seperti ini. Belum lagi kalau ia sampai jatuh dan patah tulang, Nindia bisa membayangkan kebingungannya kalau harus melaporkan pada ayah dan ibu Wildan soal kelakuan anaknya.

"Mas Wildan, si Ekaterina lagi keluar, tapi..."

"Aku tahu. Tadi aku lihat dia di frat party. Baru datang sama temen-temen ceweknya, masih lama palingan di sana," jawab Wildan cepat.

Ekaterina adalah mahasiswa 2L teman sekamar Nindia sejak tahun kedua perkuliahan dimulai. Gadis itu sama sekali tidak tersinggung mengetahui bahwa Ekaterina pergi ke pesta tanpa mengajaknya. Nindia selalu saja menolak setiap kali Ekaterina memberitahu rencananya pergi ke party di awal pertemuan mereka dulu.

Dish Best Served Cold (His Regret Series #1)Where stories live. Discover now