0. Epilogue

12.4K 1.4K 189
                                    

"Eomma, kau sedang apa?" ketika Jisoo membuka pintu kamar itu, dia mendapati sang ibu sedang duduk di meja belajar Lisa.

"Igeo. Eomma hanya ingin merapikan surat-surat yang Lisa buat untukmu." Mendengar itu, Jisoo mengernyitkan dahi bingung.

"Surat?"

Chaerin mengangguk. Menatap lirih berbagai kertas berwarna-warni yang sudah tertumpuk rapih. Dia sama sekali tak menyangka, akan kehilangan anak bungsunya begitu cepat. Rasanya sangat sakit, bahkan Chaerin sulit sekali untuk tidak bersedih akan kematian Lisa enam bulan lalu.

"Dia bilang, surat ini ingin dia buat untuk ulang tahunmu waktu itu. Namun dia menundanya karena ada berbagai insiden yang terjadi. Dia bilang, akan membuat surat yang lebih baik di tahun berikutnya. Tapi..." Chaerin menggigit bibir bawahnya ketika tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Terlalu sakit untuk diingat, bagaimana ucapan putrinya itu tak bisa terwujudkan.

"Eomma. Ini semua salahku. Maaf, karena tak bisa menjaganya dengan baik. Maaf, karena aku harus memiliki ayah yang---"

"Aniya, Jisoo-ya. Eomma sudah bilang jika semua bukan salahmu. Lelaki itu juga sudah mendapatkan balasannya. Jadi, jangan menyalahkan dirimu terus-menerus. Lisa tak akan suka." Chaerin beranjak berdiri. Mengusap bahu Jisoo untuk menenangkannya.

Karena, enam bulan belakangan bukanlah hal yang mudah untuk Jisoo lewati. Dia harus kehilangan orang yang paling dia sayangi di dunia ini. Dan kenyataan lain yang lebih menyakitkan, adalah ketika tahu jika Ayah kandungnya lah pembunuh Lisa.

Jaejoong bilang. Dia benar-benar dendam dengan keluarga Yunho. Dia tak akan pernah ikhlas karena sudah diinjak-injak, bahkan oleh anak kandungnya sendiri. Dan balas dendam adalah jalan satu-satunya yang ada dipikiran Jaejoong saat itu.

Awalnya dia tak berniat demikian. Namun saat sedang bekerja untuk mengantar barang, dia melihat Lisa yang berusaha bangun sendirian di tengah aspal jalan. Alhasil, lelaki itu nekat untuk menginjak pedal gas walaupun lampu lalu lintas masih berwarna merah.

"Baca surat ini, mungkin kau akan merasa sedikit tenang. Eomma ingin pergi sebentar untuk melayat ke tempat Dokter Jeon."

Jisoo hanya mampu membalas ucapan Ibunya dengan anggukan pelan. Memilih duduk di meja belajar Lisa setelah Chaerin benar-benar keluar dari kamar itu.

Sebelum membaca tumpukan kertas yang dibuat oleh adiknya itu, Jisoo menghela napas terlebih dahulu.  Kesedihan atas kehilangan itu memang tak bisa hilang sampai sekarang. Benar-benar menyiksa Jisoo disetiap saat dia bernapas.

Jung Jisoo yang cantik, dia adalah kakakku. Aniya! Dia adalah.. Separuh jiwaku.

Jisoo hanya mampu tersenyum tipis melihatnya. Padahal selama hidup, Lisa tak pernah bilang jika Jisoo cantik. Adiknya memang terkadang aneh.

Hal yang paling ku benci di dunia ini, adalah melihatnya menangis. Jika saja Tuhan memperbolehkanku meminta satu permintaan. Aku akan memohon, untuk hapuskan segala rasa sakit yang Unnie rasakan. Agar dia bisa tersenyum selamanya.

Di lembar kedua kertas itu, Jisoo berusaha menahan tangisnya dengan menggigit bibir bagian bawah. Merasa sesak itu kembali datang. Mencekiknya tanpa ampun.

Jisoo Unnie adalah malaikat. Penderitaan yang dia dapat selama ini, tidaklah pantas untuknya.

Di surat ketiga, Jisoo tak bisa lagi menahan air matanya. Dia tahu, sedari kecil Lisalah yang lebih tersakiti jika Jisoo mendapatkan perlakuan kasar dari orang tua mereka.

More Than Sister ✔  Where stories live. Discover now