[8] Me & Him

56.4K 6.8K 101
                                    

Cewek itu memang aneh. Lagi-lagi ia lari terbirit-birit seolah habis melihat hantu setelah memberikan Zuppa Soup-nya begitu saja pada Radit. Ketika pertama kali bertemu di rumah Kakek pun cewek itu jelas-jelas menghindarinya. Reaksinya itu jauh berbeda dari cewek-cewek lain yang justru memanfaatkan kesan pertama untuk menarik perhatian Dylan. Ia bertingkah seolah Dylan adalah monster yang siap menghabisi hidupnya detik itu juga.

Dylan berdecak, tidak mau ambil pusing tentang cewek aneh itu.

"Gue tahu ini." Gumaman Radit membuat alis Dylan terangkat. "Dia ketakutan lihat muka lo!"

"Gue?"

Radit menghela napas, lalu menunjuk-nunjuk wajah Dylan dengan sendok Zuppa Soup di tangannya. "Udah gue bilang, coba lenturin itu muka lo. Jangan kaku bangetlah!"

Ah ... mulai lagi ceramahnya, desah Dylan dalam hati.

"Ngomong yang baik, senyum, sopan—itu, 'kan gampang, Bro," lanjut Radit.

Dylan berdecak jengkel. "Gue bukan lo."

Itu adalah kalimat terakhir sebelum ia meninggalkan Radit. Semua orang boleh berkata seperti itu padanya, tapi tidak dengan Radit. Dylan selalu dibandingkan dengan Radit sejak kecil. Entah itu tentang sifat atau prestasi. Satu-satunya yang tidak bisa mereka elak hanyalah wajah dan tinggi badan Dylan.

Dylan sebenarnya membenci acara semacam ini. Acara yang penuh kepalsuan dan ajang memamerkan diri. Itu juga yang dilakukan papanya Dylan sedari tadi. Ia seolah membuat panggung sendiri di tengah acara yang diselenggarakan keluarga neneknya. Entah sudah berapa puluh rayuan manis yang diucapkannya agar bisa mendapatkan rekan bisnis baru.

Namun, Dylan tidak bisa menghindar. Tekanan di sini begitu banyak, seakan puluhan mata di sana tengah mengawasinya. Bukan hanya karena wajah dan tubuh Dylan yang mencolok, tapi titel cucu laki-laki pertama Sarwendi Pramodjo—pendiri Pramulia Group—yang tersemat di belakang namanya, membuat Dylan selalu menjadi pusat perhatian ke mana pun ia melangkah.

Dylan pun melihat papanya datang mendekat. Lagi-lagi ia tidak bisa menghindar, meski sangat ingin. Kakinya seperti terpaku di lantai marmer ini. Sampai papa berdiri di sebelahnya, Dylan hanya berdiri di sana sambil membawa piring kue yang sudah kosong.

"Kamu tahu, kenapa Radit bisa dekat sama anaknya Pak Yuda?" tanya papa langsung, tanpa basa-basi apapun.

"Siapa?"

"Anak perempuan yang tadi sama Radit."

Ah ... cewek itu. "Dia teman sekelas Radit."

"Dia sekolah di SMA negeri?!" Dylan menoleh ketika suara papa naik satu tingkat. "Papa kira dia ke SMA Nusa Berlian."

Sekolah Nusa Berlian bisa dianggap sebagai salah satu saingan Pramulia di kota ini. Dari mulai jenjang pendidikan yang tersedia sampai fasilitasnya hampir menyaingi sekolah Pramulia. Namun, prestasi sekolah Pramulia masih berada di atas sekolah-sekolah SMA yang ada, termasuk Nusa Berlian.

"Terus? Kamu udah kenalan sama dia?"

Dylan tidak mengerti apa yang membuat papa sangat tertarik dengan cewek itu. Masih ada ratusan perempuan yang lebih cantik darinya. Penampilannya juga tidak terlihat sangat spesial untuk anak yang kenal dengan salah satu keluarga Pramodjo. Tidak mungkin, 'kan dia ingin menjadikan cewek itu sebagai simpanannya? Apa tidak cukup dirinya menikah lagi dengan adik kandung Mama? Tiba-tiba saja Dylan merasa panas karena emosi.

VillainDonde viven las historias. Descúbrelo ahora