Chapter 20

1.2K 144 9
                                    

Dua hari genap dua malam sudah Dewa dibuat gusar. Raja tak menampakkan hidupnya ke rumah selama itu. Tiap malam ia duduk di balkon lantai tiga hingga hampir subuh, menunggu kalau-kalau adiknya itu pulang malam dan pergi lagi sebelum matahari terbit, namun tak juga ia temui.

Langit berjalan santai dengan sebuah susu hangat di tangannya. Ia menilik ke arah balkon tempat Dewa hinggap hingga larut dengan batang-batang nikotinnya. Helaan nafas berat dihembuskan pemuda itu melihat sang kakak yang diberi ketidakpastian. Langit memutuskan untuk menghampiri.

"Nggak tidur lo?" Tanyanya sambil bersandar di ambang pintu, menatap Dewa yang duduk di sofa nyaman balkon.

Dewa melirik Langit sekilas, "Belum ngantuk. Lo duluan aja." Jawabnya.

"Masih nantian, nunggu Bang Juna mau bawain gudeg bromo sama Bara." Langit mengelak. 

Ia ikut memperhatikan gerbang rumah yang terlihat jelas dari posisinya.  Diam-diam meneguk susu hangat hingga tandas karena pikiran kelam kembali menyelimutinya. Ia tau betul Dewa tengah panik memikirkan keberadaan Raja. Tapi jangan salah, Langit juga menjadi lebih panik.

Ia kelepasan saat itu hingga menangkap basah Raja dan langsung mengancamnya. Kekhawatirannya bertambah ketika ank itu tak menunjukkan batang hidung setelahnya. Ia sungguh was-was. Bukan akan keselamatan Raja, melainkan mulut bocor pemuda itu yang bisa saja membocorkan apapun ke siapapun. 

Dewa menarik nafas dalam dan menghembuskannya kencang, pikirannya masih kalut. Langit pun mengikuti, walau arah kekalutannya berbeda. Mendengar si bocah mengikuti jejaknya, Dewa menoleh dan menatap Langit aneh. Yang ditatap balas memandang kikuk.

"Ehm... laper gue. Bang Jun lama bener." Alibinya.

"Panjang umur, tuh." Ujar Dewa ketika melihat mobil Juna tiba di depan gerbang rumah. 

Saga terlihat turun dari mobil, berniat membuka gerbang. Namun tiba-tiba Bara turun dengan cepat dan mendorong Saga kembali masuk. Dari gelagatnya, sangat jelas Bara tidak dalam keadaan yang seratus persen sadar.

"Yaila, halu lagi itu bocah." Dewa bergumam melihat Bara berkali-kali mencoba mendorong pagar tapi berkali-kali terjatuh.

"Tck! Pengkhianat, halu kagak kabar-kabar!" Kesal Langit lalu berjalan ke dalam rumah kembali sebelum menerima tatapan mengintimidasi dari Dewa. Si kakak hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir dengan pola pikir rekannya.

Langit sudah berdiri di depan pintu rumah, menunggu Bara yang berjalan bagai kapal terombang-ambing. Sedangkan pemilik tubuh yang sekarang merasa seringan kertas sekali tiup terbang itu tersenyum bodoh.

"Ada kanebo kering baunya harum." 

Langit mengerutkan alisnya.

"Samlekum!" Lanjut Bara, berniat membuat pantun dengan kondisi setengah sadar saat masuk ke rumah.

"Jiakh, mantun bocah, gue kira syahadat." Balas Saga yang keluar dari mobil sambil menenteng tas plastik berisi makanan pesanan Langit. Yang memesan pun langsung berbinar. Dengan cuek disingkirkannya tubuh Bara yang ingin memeluknya hingga pemuda itu oleng jatuh ke lantai.

"Pake ceker tiga tempe dua, kan?" Tanya Langit pada Saga dan langsung mengambil alih plastik itu. Saga mengangguk.

Sosok Dewa turut hadir di teras rumah dan langsung menyuguhi Bara dengan tatapan penuh penghakimannya. Anak yang masih duduk di lantai itu meringis konyol.

"Apa kabar, ahli kubur?" Ucap Bara dalam posisi layaknya sedang berbaring santai di pinggir pantai.

Dewa langsung mencaci maki Bara dengan pandangannya, tanpa kata, tanpa sumpah serapah yang keluar dari bibirnya.

Devil May Care ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang