1.2 Pertemuan (Alz)

1K 87 4
                                    

Aku sering melihatmu duduk di kursi taman setelah aku beranjak

Tapi aku tak mau mengenalmu dan hanya menganggap sebagai angin lalu

.

Kita sering berpapasan saat aku berjalan dengan duniaku

Tapi aku terlalu tidak perduli, begitu pula dirimu

.

Kita selalu dekat

Dan tanpa kita sadari

Kita semakin dekat

.

.

.

Winter, South Wardenlitch

_Alzmeir Jazaa

.

Part 1

Orang itu menghilang. Aku sudah tidak bisa mengejarnya. Jejak kakinya pun tidak ada karena tertutup salju. Cuaca seperti ini, melacak aura jadi makin merepotkan. Lagi pula dia tadi sepertinya bukan orang biasa, auranya berbeda dengan orang kebanyakan. Aura alami dari seorang manusia yang terbiasa hidup dengan melihat kematian. Tidak banyak yang seperti itu, jadi seandainya aku bertemu lagi dengannya, aku bisa langsung mengenalinya.

Badai semakin mengganas. Aku menghela napas sambil merapatkan jaket. Sebaiknya aku pulang sebelum ini bertambah merepotkan.

Ah, merepotkan. Bisa-bisanya aku ikut campur dengan hal merepotkan seperti itu.

.

.

.

Part 2

Aku membuka pintu apartemen, dengan sebelah tangan yang memegang kantung belanjaan. Ketika masuk, sudah ada Kyran sedang terlihat bosan sambil memaninkan ponselnya. Dia terjebak di apartemenku karena badai. Padahal niatnya setelah bersih-bersih dia akan langsung pulang. Sekarang karena badai di luar begitu ganas, aku melarangnya pulang dan menyuruhnya menginap saja sampai besok.

"Aku pulang," ujarku sambil berlalu ke lemari es untuk menyimpan barang-barang belanjaanku.

"Selamat datang, Kakak," Kyran beranjak menyusulku. "Heee! Jaket kakak basah semua, topi dan syalnya juga. Apa di luar badainya sekuat itu?" tanyanya khawatir sambil mengambil topi juga syalku beserta jaketku, mungkin akan dikeringkan.

Aku mengangguk. "Aku mau membuat coklat panas, kau mau?" tanyaku saat beranjak ke konter dapur.

"Biar aku saja yang buat! Kakak menghangatkan diri saja!" tapi Kyran melarangku. Ia mengambil cangkir yang sudah ada ditanganku kemudian mendorongku pergi. Ya ya, baiklah.

Sambil menunggu Kyran yang sedang membuat coklat panas, aku duduk bersila di lantai dengan menopangkan dagu ke meja. Kemudian berpikir, kira-kira siapa orang yang memiliki aura tidak lazim tadi?

.

.

.

Part 3

Pagi ini aku mengantar Kyran pulang ke rumahnya. Dan langsung kembali setelah berbincang sesaat dengan paman Zet. Bukan tidak mau berlama-lama di rumah, hanya saja aku sedang ingin jalan-jalan.

Badai sudah tak datang, yang tersisah hanya tumpukan salju di mana-mana. Dari kaca bus, aku melihat beberapa anak yang sedang membuat manusia salju di depan rumah mereka. Ada juga bapak-bapak yang sedang membersihkan tumpukan salju di atap mobilnya. Badai semalam, membuat repot banyak orang tapi juga membawa senyum untuk yang lain.

Setelah turun dari bus, aku berjalan pelan-pelan untuk menikmati dinginnya udara musim dingin dan melihat-lihat orang-orang berlalu lalang dengan wajah gembira. Badai kemarin seakan tak pernah terjadi saja.

Melewati taman bermain anak-anak, aku jadi ingin berdiam di sana sebentar. Maka kuputuskan untuk menjejakkan kaki di sana, kemudian duduk di kursi panjang yang masih terlihat kosong di dekat seluncuran.

Beberapa anak kecil sedang terlihat sibuk dengan manusia salju mereka, sebagian yang lain main kejar-kejaran atau lempar-lemparan. Aku jadi menyunggingkan senyum tanpa sadar.

Beberapa menit melamun, seseorang duduk di sebelahku. Ia seorang gadis, dengan rambut panjang berwarna hitam, di dekapannya ada sekantung plastik penuh apel merah. Ketika aku meliriknya, dia langsung menyodorkan sebuah apel padaku.

"Huh?"

"Untukmu," katanya saat memberikan sebuah apel merah padaku.

"Terima kasih," aku menerimanya. Tidak baik juga kan menolak kebaikan orang lain.

Gadis di sampingku memakan apelnya perlahan. Setelah beberapa gigitan dia menoleh padaku. "Kenapa tak dimakan? Kau tidak suka apel?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng. "Aku suka, hanya sedang tidak ingin memakannya sekarang,"

"Oh," dia mengangguk.

Setelah itu tak ada pembicaraan lagi sampai dia menghabiskan semua apel di dalam kantung plastiknya. Aku sampai geleng-geleng kepala gara-gara gadis ini mampu menghabiskan sekilo apel sendirian. Dia gadis yang tenang, bahkan aura jiwanya pun terasa terlalu tenang, aku sampai tidak tahu dia sedang merasa sedih atau senang. Terkadang aku juga merasa ada sedikit kegelapan pada aliran auranya, tapi kuabaikan karena kegelapan itu hanya terasa sekilas dan sangat samar. Manusia memang seperti itu kan, tak mungkin ada yang benar-benar baik atau benar-benar jahat. Gadis ini pun mungkin seperti itu.

Tak lama, gadis itu beranjak berdiri. Dia berkata "Sampai jumpa," untuk mengucap perpisahan padaku.

Aku membalas dengan "Sampai jumpa," pula. Kemudian dia meninggalkanku sendiri bersama sebuah apel pemberiannya.

Merasa sudah terlalu lama duduk di sini, aku memutuskan untuk pulang juga. Kugigit sedikit demi sedikit apel merah pemberian si gadis asing sebagai pengobat kebosanan karena berjalan sendirian.

Apelnya terlalu manis.

White BondDonde viven las historias. Descúbrelo ahora