13. Pindah

66.9K 7.6K 358
                                    

Semenjak malam itu, kini aku sudah tidak terlalu kaku lagi saat bersama Mas Gibran. Hubungan kami juga terjalin seperti biasa, tapi tidak seperti pengantin baru pada biasanya.

Saat ini aku dan Mas Gibran tengah beristirahat, setelah sejak tadi pagi kami sudah sibuk merapikan rumah. Sebenarnya tidak banyak yang kami rapikan, karena setengah perabotannya sudah ada dan juga ada orang suruhan yang membersihkan, jadi rumah ini tidaklah terlalu kotor.

"Aku laper, kamu laper nggak, Na?" tanya Mas Gibran sambil bangkit dari sofa.

Aku yang tengah menyandarkan tubuhku di sofa dengan kaki yang selonjoran di atas karpet nan lembut yang berada di ruang keluarga.

Akhirnya terpaksa membuka pejaman mataku. Mau bagaimana lagi, perutku juga sudah terasa lapar.

"Laper juga," ucapku.

"Pesan makan ya."

"Jangan!" ucapku cepat.

Mas Gibran menatapku bingung, "kenapa?"

"Perasaanku tadi di dapur ada mie instan deh."

"Jadi maksudnya mau makan mie? mie instan itu nggak baik."

"Emang kalau pesan gitu terbukti bersih ya? Nggak kan. Kita juga nggak tau gimana proses pembuatannya, bersih atau nggaknya. Kalau Mas mau pesen, nggak apa-apa pesen aja, aku sih mau makan mie aja." aku berjalan menjauhi Mas Gibran.

Sampai di dapur aku membuka kulkas. Masih ada mie instan dan juga sebuah telur. Aku mulai memasak air hingga mendidih, selanjutnya memasukkan mie ke dalam air tersebut, begitu seterusnya hingga selesai.

Terakhir aku menaruh mie yang sudah masak tersebut di sebuah mangkuk. Kemudian membawanya menuju meja makan.

Aku menatap dengan mata berbinar makanan di depanku ini. Perutku semakin meronta minta untuk di isi. Dengan segera aku melahapnya, baru saja sudah makan satu suap, mataku menangkap sosok Mas Gibran yang baru saja duduk di sebelahku.

Aku menatapnya, ternyata dia juga tengah menatapku. Aku sampai dibuat salah tingkah olehnya, ia menatapku lekat.

"A-apa?"

Bukannya menjawab Mas Gibran malah kembali berdiri. Aku mengendikkan bahuku dan kembali melahap mie tersebut.

"Na, aku laper," ucap Mas Gibran yang sudah kembali duduk sambil membawa sebuah sendok.

"Mas udah pesan kan? Makanannya belum nyampe ya? Kalau belum, sabar aja ya ditungguin," balasku sambil terus melahap makananku.

"Aku nggak jadi pesan makanan."

Refleks aku menoleh.

"Loh, kenapa?"

Mas Gibran hanya menjawab dengan gelengan.

"Na, aku laper," ucap Mas Gibran lagi.

Aku bingung, kasian juga. Tapi memangnya aku mau memasak apa? Kulkas kosong, belum terisi bahan makanan. Mie instan dan telur itu adalah satu-satunya makanan yang ada di rumah ini.

"Maaf ya, Mas. Bukannya aku nggak mau masakin, selain kurang ahli, belum ada bahan makanan juga." aku merasa tak enak hati, membiarkan Mas Gibran sampai kelaparan.

"Makan mie juga boleh," jawabnya.

"Mie-nya cuma satu, dan udah aku masak sekalian sama telurnya. Gimana dong?" sungguh aku kembali merasa tak enak hati.

"Barengan satu mangkuk juga boleh." Mas Gibran melirik mie yang aku makan tadi.

Mungkinkah sedari tadi Mas Gibran tengah mengode agar aku mau berbagi makananku padanya? Benarkah begitu? Astagfirullah, dasar aku manusia tidak peka.

Sepupuku Suamiku Where stories live. Discover now