S H E - f o u r t e e n

32.9K 4.7K 230
                                    

SHE

°

Kepanikan Sura nampaknya menular pada Zeugma Nemesis yang pada akhirnya meminta sopir dadakannya datang menuju gedung tempatnya tinggal dan membawa mereka menuju Jeno. Ya, Jeno. Nemesis tahu dirinya sudah gila karena perlu melibatkan diri pada kehidupan Sura, tapi hati tidak bisa dibohongi sama sekali.

Mungkin karena latar belakang yang begitu menyayangi keluarga, makanya hal itu memengaruhi Nemesis untuk peduli pada anggota keluarga Sura—asistennya. Belum ada apa-apa yang dijelaskan Sura pada aktornya itu, karena pikirannya sudah diisi dengan Jefes Nicholas.

"Minum dulu, kamu pucat." Kata Nemesis yang menyodorkan botol mineral pada Caesura.

Perempuan itu mendorongnya. "Saya nggak mau minum. Saya cuma mau lihat kondisi Jeno." Begitu alasan yang digunakan oleh Sura.

"Apa kamu mau jatuh pingsan ketika baru sampai di rumah sakit nanti?"

Caesura menoleh, tatapannya menajam pada Nemesis. "Apa mas Nemesis nggak bisa menyuruh sopir mas kerja cepet saja!? Karena kondisi Jeno lebih penting ketimbang kondisi diri saya sendiri!" balas Sura yang tiba-tiba saja tidak bisa Nemesis bantah.

Sikap Sura persis seperti Karyna ketika anak-anak ada yang mengalami hal buruk. Entah itu hanya tidak sengaja teriris pisau atau terpeleset, Karyna akan menghardik orang lain yang menyuruhnya tetap tenang.

"Sepenting itu kondisi Jeno untuk kamu pikirkan?" tanya Nemesis untuk memastikan rasa penasarannya saja.

Dengan sinis Sura menjawab. "Pertanyaan semacam itu nggak perlu saya jawab. Nggak penting!"

Baru kali ini Nemesis terdorong untuk menjawab, dan hebatnya baru kali ini Nemesis mengalah pada orang lain.

"Kamu mengingatkan saya pada ke mami saya. Kalo ada anaknya yang sakit, dia akan panik dan bersikap sinis ke orang yang berusaha menenangkan kamu. Kamu cocok jadi ibunya Jeno."

Mendengar ucapan tersebut. Sura mendadak semakin panik, dia menangis lagi. Luar biasa, pria yang mengantarnya kini memang paling bisa menyambungkan segala logika pada insting yang sepertinya berjalan beriringan.


"Sura? Kamu menangis lagi? Kenapa? Saya salah bicara?"

Sura menggelengkan kepalanya. Jujur tak kuat menahan kebohongan selama hampir dua tahun ini. Dia berusaha tenang, tapi sepertinya tebakan demi tebakan yang Nemesis berikan justru menghimpitnya jauh lebih menyakitkan.

"Sura..."

"Mas Nemesis nggak salah bicara." Sura memberanikan diri. Dia genggam tangan Nemesis yang semula berada di pangkuan pria itu sendiri.

"Hah? Maksudnya apa? Nggak salah yang mana?" Tuntut Nemesis kembali.

"Saya... mas Nemesis saya mau jujur."

Nemesis menggangguk. Pria itu baru merasakan kegugupan dari lawan jenis.

"Jujur saja. Kamu mau jujur soal apa?"

"Saya—"

"Pak, Bu, sudah sampai." Selaan itu datang dari sopir Nemesis.

Fokus utama Sura bukan mengenai kejujurannya pada Nemesis lagi. Dia buru-buru turun dari mobil dan berlari untuk menemui Jeno.

"Caesura pelan-pelan!" teriak Nemesis yang cemas melihat semangatnya Sura mencari Jeno.

"Kamu tunggu di parkiran, selama saya dan Sura belum keluar kamu belum bebas tugas." Nemesis memperingatkan sopir yang sebenarnya biasa digunakan oleh maminya itu dengan tegas.

"Tapi, Pak saya harus segera ke rumah sebelum jam lima pagi."

"Saya yang akan bilang ke mami. Kamu nggak perlu bingung."

Nemesis melesat meninggalkan sopirnya. Segera menyusul Sura yang nampaknya sudah menghubungi ibunya dan menuju tangga. Melihat itu Nemesis berdecak. "Ngapain pake tangga manual kalo ada lift! Yang ada dia malah kelelahan nanti!" gumamnya sendiri masih tetap mengikuti Sura.

Ketika bisa mengimbangi langkah Sura, pria itu bertanya. "Lantai berapa?"

"Tiga."

Nemesis tiba-tiba saja membuat langkah Sura berhenti. Pada undakan kedua, Sura terlihat kelelahan.

"Naik." Kata Nemesis.

"Mas ngapain?"

"Udahlah, naik aja sekarang. Jangan banyak tanya!"

Pada akhirnya Sura menuruti perintah Nemesis. Tubuh pria itu membawanya menuju lantai tiga dan Sura hanya perlu berada di punggung Nemesis hingga mereka berada di ruangan yang tepat.

"Terima kasih, Mas." Kata Sura cepat.

Nemesis terduduk di kursi tunggu di depan pintu ruangan inap. Dia mengatur napas yang berlarian ritmenya.

"Ma, aku di depan pintu ruang Bratagya. Bener di sini?" tanya Sura pada sambungan telepon.

Tak lama pintu terdengar di geser. Nampak seorang wanita yang terlihat lebih tua dari Karyna menyapa Sura.

"Jeno di dalam. Baru bisa tidur."

Sura terlihat bernapas lebih lega. "Jeno kenapa, Ma?" tanya Sura.

"DBD kata dokter."

Sura terlihat akan ambruk jika saja tidak Nemesis pegangi. Sebagai seorang ibu yang jarang bisa menemani putranya bermain, Sura sangat sedih. Anak yang belum genap satu tahun terkena DBD.

"Sura, kamu lemas." Kata Nemesis.

Tak lama ibu Sura menyahut. "Kamu..."

"Ma, jangan sekarang." Sura berucap pada ibunya.

Mata sang ibu berkaca-kaca dan tangannya mulai bergetar. Nemesis tidak tahu kenapa, tapi tatapan wanita itu seratus persen tertuju padanya.

"Kamu orangnya! Kamu yang membuat anak saya seperti ini!"

"Ma..." Sura berusaha menyentuh lengan ibunya tapi ditepis dengan cepat.

"Kamu ayah cucu saya!"

Nemesis tertegun, sedangkan Sura merasa terlambat. Harusnya dia lebih dulu memberitahu Nemesis mengenai hal ini supaya pria itu lebih siap.

He Wants to Messed Up With Me [TAMAT] TerbitWhere stories live. Discover now