28 6 3
                                    

Tahara baru akan berbalik pada Konishi dan pamit untuk kembali ke kantor. Namun, tiba-tiba kekuatan yang dahsyat melempar Tahara, Konishi, serta benda-benda di kamar mereka ke berbagai sisi ruangan, tepat bersamaan dengan cahaya terlampau terang yang membutakan mata, serta suara dentuman dahsyat dan teriakan yang nyaring.


...


Konishi perlahan membuka matanya. Hal pertama yang ia dapati adalah satu per tiga bagian dari tembok rumahnya yang sudah tidak memiliki rangka. Debu dan abu yang berwarna kecoklatan menyelimuti udara di hadapannya. Perlahan-lahan, ia merasakan perih luar biasa di sekujur tubuhnya. Ia mengangkat tangan kanannya perlahan sekali dan menyentuh dahinya. Saat tangannya turun beberapa inci, ia mendapati darah segar hadir di telapak tangannya sebelum jemarinya jatuh lagi. Telinganya samar-samar menangkap suara tangis sana-sini, serta rintihan-rintihan yang memilukan hati. 

Mimpi buruk. Ini semua adalah mimpi buruk. Batin Konishi yang berusaha untuk tetap waras. Otot-otot di tenggorokannya terasa tegang luar biasa. Ingin sekali ia memekik dan melolong bahkan hingga ia memuntahkan darah, namun pikirannya terlalu penuh dengan dua nama. 

Tamotsu dan Tahara. 

Ia bahkan tak memedulikan lengan kirinya yang tertancap pecahan kaca dari jendela ruang tamunya. Bayangan akan kehilangan kedua insan yang sangat ia kasihi jauh lebih menyakitkan dari luka-luka di seluruh badannya sekalipun. Konishi berusaha teramat keras untuk bangkit dari ringkukannya di sudut dapur yang bagian atasnya total terekspos, dan penuh dengan kepulan debu dan asap, sama seperti ruangan lain di rumahnya. 

Air mata menetes dari matanya seraya ia merintih keras untuk berdiri. Kepalanya pening luar biasa. Pandangannya tak pernah sekabur ini. Apalagi dengan air mata yang menggenangi matanya, yang ia lihat hanyalah reruntuhan yang kabus. Ia tersengguk kencang setelah akhirnya tertatih untuk bangun. Ia mendongak sedikit dan mendapati kamarnya dan kamar Tamotsu sudah tak berbentuk.

Mukanya mengkerut pedih, bibir atas dan bawahnya menekan satu sama lain dengan keras, dengan harapan teriakan atau sesenggukan tidak keluar dari mulutnya. Kaki-kakinya yang telanjang menapaki kepingan-kepingan asing, tubuhnya tertatih luar biasa. Piyama putih dengan pola gambar teddy bear  kecil yang menempel di tubuhnya tak lagi terlihat layak. Banyak sekali bolongan dan bagian sobek di piyamanya. Tak hanya itu, darah Konishi pun turut menghiasi di bagian lengan kiri, perut, kaki, dan terciprat di bagian lainnya. 

Kakinya gemetar seperti ranting pohon yang diguncang gempa bumi. Satu langkah, dua langkah ... Konishi terhenti pada langkah ketiga saat matanya yang buram mendapati pemandangan suaminya di sudut kamarnya, meringkuk dalam dan tertimbun oleh kepingan reruntuhan dari rumahnya.

"Yome-san ..." rintihnya serak. Konishi lalu berusaha mencipta dan mempercepat langkah lainnya untuk sampai pada suami dan anaknya. Ia merintih lagi, "yome-san ... Momotaro-chan ...."

Penglihatannya perlahan memudar, dan hilang pada kegelapan.


TBC

The Joyous HeroWhere stories live. Discover now