[3] Mati-Hidup

3.8K 418 87
                                    

Ben bergeming, terpaku pada catatan harian yang digenggam erat oleh sang adik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ben bergeming, terpaku pada catatan harian yang digenggam erat oleh sang adik. Gadis itu mengangkatnya tinggi-tinggi, meski tangan dan kakinya terus bergetar. Bahkan, menghapus air mata yang berkolaborasi dengan ingus pun tak terpikir olehnya.

"Na …," panggil Ben penuh kelembutan.

Si empunya nama lekas menggeleng dan mundur perlahan. Ia segera menyembunyikan jurnal batik Ben di balik bajunya.

Bina bergeretak sampai kepayahan menelan ludah. Air matanya kembali menetes saat teringat rangkaian kalimat dalam buku lusuh berumur sepuluh tahun tersebut. Ia tak menyangka Ben dan kedua orang tuanya menyimpan berita besar seperti ini.

"Abang nggak lagi nulis novel, kan?" tanyanya seraya tersenyum paksa.

Ben menarik napas dalam-dalam dan mengulurkan tangan, meminta separuh jiwanya kembali. "Na, Bang Ben bisa jelasin--"

"Jadi bener? Bang Ben kena bul, bul … ah, persetan sama namanya!" Gadis yang rambutnya tak tersisir rapi itu meraih kedua tangan kakaknya dan menggenggam erat. "Nggak, kan, Bang?"

Hening. Dalam benak, Ben mengumpat dan mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia meninggalkan benda keramat itu di sini? Dan betapa bodohnya sampai jatuh ke tangan orang yang paling ia hindari.

Ben menghirup oksigen dari selang lalu tersenyum tipis. Ia tak bisa lari.

Anak itu lantas mengangguk pelan, "Iya, Na."

"Ja-jadi … Bang Ben nggak akan dapet paru-paru baru?"

Ben kembali mengangguk, "He'em."

"Te-terus? Kalau gitu, Bang Ben bisa ma--"

"Na," sela Ben cepat. "Dokter bilang, minggu depan Bang Ben bakal nyoba antibiotik lain. Keren, kan?"

Bina menggeleng kuat. Keren dari mana? Paru-paru baru saja katanya hanya memperpanjang hidup Ben selama lima tahun. Apa kabar dengan ini? Sulit dipercaya.

Ben melepas genggaman Bina dan menyentuh pipi adiknya. Ia menekan kedua sisi hingga bibir Bina pun mengerucut. Anak itu mengentak-entak kesal, tetapi Ben tak segera melepasnya.

"Nggak usah sok ngambek gitu. Jelek," ucapnya sebelum membebaskan Bina.

Gadis bercelana pendek itu lekas mengusap pipinya. "Ish, Bang--"

"Sstt!"

Ben menggeleng dan mendekap Bina. Memeluk erat-erat, agar sang adik dapat merasakan detak dan embusan miliknya.

"Nggak apa-apa, Na. Anggap aja ini bonus akhir bulan dari Tuhan."

Ingin Bina memukul punggung Ben lalu menginjak kaki lelaki itu. Namun, pelampiasannya hanya sebatas mencengkeram seragam sang kakak dan menariknya berulang kali.

Hidup yang Saya Tuju Sedang Tidak Aktif ✔ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang