[5] Teman Sketsa

2.7K 352 68
                                    

Bila ada yang bertanya, 'bagian tubuh mana yang paling Ben sukai', tanpa ragu ia akan menjawab: jari

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bila ada yang bertanya, 'bagian tubuh mana yang paling Ben sukai', tanpa ragu ia akan menjawab: jari. Khususnya, jempol dan telunjuk kanannya. Mereka telah berperan besar dalam meluapkan keluh dan jenuhnya hidup.

Ben melahap segala hal yang berhubungan dengan kedua jemari itu. Sekadar menulis--meski kadang hanya ia yang dapat membacanya, membuat hand lettering, menggambar sketsa, hingga melukis--yang sebenarnya belum bisa dikatakan bagus.

Dibanding ponsel, power bank, atau dompet, Ben lebih memilih jurnal batik, buku gambar, pensil, dan pewarna untuk dibawa ke mana-mana. Entah ke sekolah, yayasan, mal, ataupun bioskop. Bahkan tak jarang ia membawa mereka ke kamar mandi.

Layaknya sekarang, saat teman sekelasnya berbondong-bondong mengelilingi lapangan basket, Ben hanya duduk manis di gazebo sambil mencoret-coret kertas. Hari ini otaknya belum berasap. Lelaki yang memakai nasal kanul itu tidak mendapat inspirasi. Alhasil, ia menorehkan merah, kuning, hijau, dan biru secara asal.

"Ben!"

Rehan menyeret kaki menuju kawan sebangkunya. Ia segera berbaring dan merentangkan tangan dengan napas Senin-Kamis. Keringat hasil memutari lapangan sebanyak tiga kali itu membasahi rambut dan bajunya.

"Minum," pinta anak super-sehat tersebut.

Ben menggeleng heran. Ia mengambil air kemasan milik sahabatnya yang dititipkan sebelum pelajaran dimulai. Tanpa aba-aba, Ben melemparnya.

"Wuw! Nice catch!" seru Rehan ketika botol yang melayang tertangkap sempurna.

Ben mendengkus dan terbatuk. Ia spontan menepuk dadanya kuat-kuat. Ngeri memang, tetapi Ben telah terbiasa. Ia lekas mengambil botol bermotif galaksi hasil menang lotre, lalu menenggak isinya hingga separuh.

Sendu sorot Rehan bukan yang pertama. Hampir setiap Ben terbatuk hebat, ia akan menelan ludah dan menghela napas lelah. Pandangannya layu, tak tahu harus berbuat apa untuk meringankan rasa sakit sahabatnya. Mungkin tidak hanya dirinya, melainkan orang lain di sekitar pun demikian. Ben sangat tahu itu, tetapi berusaha mengabaikannya.

Setelah sedikit tenang, lelaki yang selalu absen di pelajaran olahraga pun lekas kembali pada buku gambarnya. Kemudian membuka halaman lain dan meraih pensil.

Tubuh nan kurus itu mundur sampai bersandar pada dinding pembatas dari kayu. Ia menekuk lutut dan menjadikannya alas. Melihat hal tersebut, Rehan sontak tertarik. Ia mendekat, berlagak mengendap, lalu mengintip.

"Diem aja di sana, nggak usah sok kepo."

Belum juga memperpendek jarak, Ben sudah menceramahinya. Kesal, Rehan mengambil jurnal batik Ben.

Hidup yang Saya Tuju Sedang Tidak Aktif ✔ [Terbit]Where stories live. Discover now